Selasa, 29 November 2011

Regulasi CSR dalam Hukum Positif Indonesia sebagai Bentuk Tool of Social Engineering

Regulasi Coorporate Social Responsibility (CSR) dalam Hukum Positif Indonesia sebagai Bentuk Tool of Social Engineering.
I.                   Latar  Belakang

Hukum bukanlah suatu sistem yang berdiri sendiri, yang ada di luar ruang hampa, tetapi sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Pendekatan ini lebih melihat hukum sebagai bangunan sosial (social institution) yang tidak terlepas dari bangunan sosial lainnya.  Sejak dibuat hingga diterapkan dalam kasus riil, hukum berurusan sengan banyak aspek, hukum  tidak dipahami sebagai teks dalam undang-undang atau peraturan tertulis tetapi sebagai kenyataan sosial yang terwujud dalam kehidupan. Dengan sedikit menelusuri tahapan keberadaan hukum, dapat ditemukan bahwa hukum dalam dirinya berhakikat multi logika. Keinginan akan suatu aturan pasti berangkat dari kebutuhan, pergumulan, ide, harapan, keinginan dan kepentingan tertentu. Pada saat dibuat terjadi pertarungan ide dan kepentingan yang langsung maupun tidak langsung diperjuangkan oleh para pembuatnya. Kompleksitas semakin terjadi pada saat peraturan dijalankan. Pertama-tama, aturan tersebut harus dibaca dan dimaknai oleh penegak hukum dalam konteks situasi masing-masing. Aparat, dalam dirinya selalu melekat segi personalitasnya, sosialitasnya dan kepentingannya. Proses penerapan hukum membutuhkan dukungan dana, sarana-prasarana, managemen, policy lembaga dan kualitas SDM aparat penegak hukumnya. Selain itu dari sisi masyarakat terdapat berbagai respon masyarakat dengan beragam cara pandang, harapan, kepentingan dan tujuan-tujuan sendiri, merupakan faktor lain yang menentukan pelaksanaan suatu peraturan.
 Hukum tidak dipahami secara tekstual normatif tetapi secara konteksual. Sejalan dengan itu maka pendekatan hukum tidak hanya dilandasi oleh sekedar logika hukum tetapi juga dengan logika social dalam rangka seaching for the meaning. Pendekatan ini diharapkan dapat menjelaskan berbagai fenomena hukum yang ada melalui alat bantu logika ilmu-ilmu sosial. Berbagai praktek-praktek hukum yang tidak sesuai dengan aturan normative, disparitas hukum, terjadinya deviant behavior, anomaly hukum, ketidakpatuhan (disobedience), pembangkangan hukum, violent, kriminalisme dan sebagainya akan lebih mudah dijelaskan melalui pendekatan ini.
Menurut Robert Siedmen, dalam bekerjanya hukum terdapat 3 (tiga) komponen yang saling mempengaruhi yaitu lembaga pembuat peraturan, birokrasi/ penegak hukum dan pemegang peranan. Adapun penjelasannya sebagai berikut [1]:
a.       Setiap peraturan  memberitahu  bagaimana seorang pemegang peranan (role occupant) itu diharapkan bertindak. Bagaimana seorang itu akan bertindak sebagai respons terhadap peraturan  merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktifitas dari lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan komplek sosial, politik dan lain-lainnya mengenai dirinya.
b.      Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana (masyarakat) itu akan bertindak sebagai respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan z    peranan.
c.       Bagaimana para pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan komplek kekuatan sosia, politik, ideologis dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peranan serta birokrasi
Dari teori tersebut jelaslah bahwa hukum tidak dapat berdiri sendiri melainkan saling berinteraksi dengan komponen sosial masyarakat. Hukum bukan merupakan institusi yang absolut dan final melainkan bergantung pada bagimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusialah yang menjadi faktor penentu[2]. Hukum dalam salah satu peranannya digunakan untuk merubah keadaan sosial masyarakat, misalnya saja merubah perilaku sosial masyarakat.  Salah satunya hukum yang mengatur tentang Coorporate Social Responsibility (CSR).
Adapun paradigma yang berkembang dalam memberikan format atas hubungan interaksi perubahan sosial dan perubahan hukum adalah [3]:
1.      Hukum melayani kebutuhan masyarakat, agar supaya hukum tidak ketinggalan oleh laju perkembangan masyarakat, ciri-ciri paradigma ini adalah :
a.       Perubahan yang cenderung diikuti oleh sistem lain karena dalam kondisi ketergantungan.
b.      Ketertinggalan hukum di belakang perubahan sosial.
c.       Penyesuaian yang cepat dari hukum pada keadaan baru.
d.      Hukum sebagai fungsi pengabdian.
e.       Hukum berkembang mengikuti kejadian berarti ditempatnya adalah di belakang peristiwa bukan mendahuluinya.
2.      Hukum dapat menciptakan perubahan sosial dalam masyarakat atau setidak-tidaknya dapat memacu perubahan-perubahan yang berlangsung dalam masyarakat, ciri-ciri paradigma ini adalah :
a.      Law is tool of social engineering.
b.      Law is tool of direct social change.
c.       Berorentasi ke masa depan.
d.      Ius Constituendum.
e.       Hukum berperan aktif.
f.       Tidak hanya sekedar menciptakan ketertiban tetapi menciptakan dan mendorong terjadinya perubahan dan perkembangan tersebut.
Keberadaan industri sangat dibutuhkan dalam pembangunan di Indonesia, banyak kontribusi positif yang diberikan bagi sebuah negara yang sedang membangun seperti Indonesia, namun tidak dapat dipungkiri banyak dampak negatif yang ditimbulkannya. Dampak-dampak negatif tersebut dapat dirasakan secara langsung maupun tidak langsung, yang dapat dirasakan langsunga terutama adalah adanya penurunan kualitas lingkungan serta dampak sosial yang dirasakan oleh masyarakat sekitar. Apabila dampak negatif itu tidak dikelola dengan baik, dikhawatirkan dapat membahayakan lingkungan dan masyarakat sekitar, keadaan demikian justru akan menghambat kegiatan produksi dan kontra produktif terhadap tujuan ekonomi suatu perusahaan. Hal ini justru dapat merugikan perusahaan saat perusahaan menimbulkan dampak negatif baik pada lingkungan maupun kehidupan sosial masyarakat demi melakukan penghematan. Pencemaran dan konflik sosial dengan masyarakat justru dapat menimbulkan nama buruk bagi perusahaan yang tentu sangat berpengaruh terhadap marketing produk di pasar. Kini semakin diakui bahwa perusahaan, sebagai pelaku bisnis, tidak akan bisa terus berkembang, apabila perusahaan tersebut menutup mata atau tak mau tahu dengan situasi dan kondisi lingkungan sosial sekitarnya. Perusahaan dan masyarakat serta lingkungan mempunyai hubungan saling ketergantungan.
Kegiatan CSR baru dimulai beberapa tahun  belakangan. Tuntutan masyarakat dan perkembangan demokrasi serta derasnya arus globalisasi dan pasar bebas, sehingga memunculkan kesadaran dari dunia industri tentang pentingnya melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).  
Di Indonesia CSR dikenal sebagai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL), klausul TJSL pertama kali dikenal dengan dimasukan ke dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.  Didalam Pasal 74 Undang-undang  Perseroan Terbatas yang menyebutkan bahwa setiap perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Jika tidak dilakukan, maka perseroan tersebut bakal dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Dan ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.Selain diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, ketentuan mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam pasal 15 huruf b disebutkan, setiap penanam modal berkewajiban melaksankan tanggung jawab sosial perusahaan. Jika tidak, maka dapat dikenai sanksi mulai dari peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal, atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau  fasilitas penanaman modal  (pasal 34 ayat (1) UU PM).  
Di Indonesia ketentuan mengenai TJSL diatur di dalam hukum positif di Indonesia dan dijadikan suatu kewajiban hukum. Pada kalangan pelaku usaha hal ini menimbulkan kontra karena sebenarnya TJSL telah dilakukan dalam praktek perusahaan sebelum diatur dalam hukum positif dan pemberlakuan TJSL sebagai suatu kewajiban hukum bertentangan dengan praktek dalam praktek internasional selama ini, dimana biasanya TJSL merupakan suatu kesukarelaan.

II.                Permasalahan

Seperti telah diketahui bahwa dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Penanaman Modal menetapkan CSR sebagai sebuah kewajiban. Hal ini menjadi sebuah polemik karena di dalam praktek internasional CSR merupakan suatu kesukarelaan. Dilihat dari bahasa CSR yang berarti Coorporate Social Responsibility, berarti merupakan sebuah kemampuan untuk merespon keadaan sekitarnya.Sehingga mempunyai sifat yang sukarela tidak terikat menjadi suatu kewajiban tertentu. Apabila CSR telah menjadi sebuah kewajiban maka harusnya bernama CSO atau Coorporate Social Obligation. Selain itu pihak yang kontra terhadap ketentuan CSR yang menjadi sebuah kewajiban dengan alasan bahwa CSR kegiatan di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam perundang-undangan formal, seperti : ketertiban usaha, pajak atas keuntungan dan standar lingkungan hidup.  Dari uraian tersebut, dapat kami rumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.      Sejauhmana kemampuan hukum sebagai alat rekayasa sosial di bidang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) Perusahaan di Indonesia?
2.      Apa hambatan dalam implementasi Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL) di Indonesia?

III.             Pembahasan

A.    Regulasi Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagai Alat Penyeimbang Kepentingan Dalam Masyarakat.

Pendapat yang menyatakan bahwa CSR beyond the regulation sehingga apabila sudah masuk dalam sebuah regulasi hukum positif bukan merupakan CSR lagi dapat dibantah dengan Piramida CSR Archie Carroll dengan tegas menunjukkan bahwa ketaatan pada hukum adalah bagian dari CSR. Dimana Piramida CSR Archie Caroll ini terdiri dari Economic Responsibility, Legal Responsibility, Ethic Responsibility dan Philantropic Responsibility. Legal Responsibility merupakan suatu kepatuhan dan ketaatan terhadap semua Undang-undang dan aturan pelaksana di bawahnya yang mengatur tentang usaha dan kegiatan usahanya. Jadi ketaatan terhadap peraturan merupakan bagian dari CSR, sehingga CSR sebetulnya mencakup komponen-komponen within maupun beyond regulation (lih. Carroll, A. 1991.Pyramid of Corporate Social Responsibility: Toward the Moral Management of OrganizationalStakeholders). Tanggung Jawab Sosial Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam regulasi perundang-undangan di Indonesia menegaskan regulasi, dan tidak mengandung aspek ekonomi, sehingga sebetulnya ia merupakan irisan sepertiga saja dari CSR. Selain itu dalam suatu sistem terutama sistem koersif seperti dalam sistem hukum, kewajiban hukum merupakan merupakan esensi suatu sistem. Karena dalam sistem koersif seperti sistem hukum hanya dapat mengikat secara normatif individu-individu yang tunduk pada sistem tersebut, dan ikatan normatif hanya bisa dikelompokan dengan kata kewajiban.[4]
Hukum dapat mempengaruhi perilaku sosial masyarakat, dimana hukum diartikan sebagai alat kontrol sosial dan berhubungan dengan pembentukan dan pemeliharaan aturan-aturan sosial. Hal ini karena hukum mempunyai karakteristik yang membedakannya dengan aturan yang lain yaitu adanya mekanisme kontrol berupa sanksi. Hukum berfungsi untuk menciptakan aturan sosial dan sanksi digunakan sebagai alat kontrol bagi mereka yang menyimpang dan menakut-nakuti agar orang tetap patuh pada aturan sosial yang telah ditentukan. Di dalam hubungan hukum dengan perilaku masyarakat, terdapat adanya unsur persasive socially (penyerapan sosial), artinya bahwa kepatuhan dan ketidakpatuhan terhadap hukum serta hubungannya dengan sanksi dikatakan relevan atau mempunyai pertalian yang jelas, apabila aturan hukum dengan sanksinya atau dengan perlengkapannya untuk melakukan tindakan paksaan sudah diketahui arti dan kegunaannya oleh individu masyarakat yang terlibat dengan hukum itu.[5]
Pada dasarnya kondisi awal struktur masyarakat selalu berada pada posisi yang timpang atau kurang seimbang. Untuk menciptakan suatu kondisi masyarakat yang seimbang dan proporsional perlu langkah progresif yang memfungsikan hukum untuk menata perubahan. Fungsi hukum untuk melakukan perubahan adalah menata kepentingan –kepentingan yang ada di masyarakat sehingga menjadi seimbang.Menurut Roscoe Pound mengelompokan kepentingan menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu kepentingan umum, kepentingan sosial dan kepentingan pribadi[6]. Kepentingan umum dikelompokan menjadi 2 (dua) yaitu kepentingan negara sebagai badan hukum dalam mempertahankan kepribadian dan hakekatnya serta kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan-kepentingan sosial. Kepentingan pribadi dikelompokan menjadi 3 (tiga) kelompok, meliputi kepentingan pribadi (integritas fisik, kebebasan berkehendak dan lain-lain), kepentingan dalam hubungan rumah tangga/domestik, serta kepentingan substansi (perlindungan hak milik, kebebasan berusaha dan lain-lain). Sedangkan kepentingan sosial dikelompokan menjadi 6 (enam) kelompok yaitu :
1.    Kepentingan sosial dalam soal keamanan umum;
2.    Kepentingan sosial dalam hal keamanan institusi-institusi sosial;
3.    Kepentingan sosial menyangkut moral umum;
4.    Kepentingan sosial menyangkut pengamanan sumber daya sosial;
5.    Kepentingan sosial menyangkut kemajuan sosial;
6.    Kepentingan sosial menyangkut kehidupan individual.
Tujuan pengelompokan kepentingan oleh Roscoe Pound ini bertujuan untuk memberdayakan hukum sebagai sarana menuju tujuan sosial dan sebagai alat dalam perkembangan sosial, serta untuk membantu memperjelas kategori kepentingan yang ada dalam masyarakat secara keseluruhan, berikut bagaimana menyeimbangkannya secara tepat sesuai dengan aspirasi dan tuntutan yang berkembang pada saat ini dan disini. Menurut Roscoe Pound peradaban zaman semakin menuntut adanya postulat-postulat hukum baru.
     Sebagai pemikir sociological jurisprudence, Pound mengusulkan agar para ahli hukum beraliran sosiologis perlu memperhatikan fakta sosial dalam pekerjaannya. Sebab kehidupan hukum terletak pada pelaksanaannya, tentang hal ini Roscoe Pound menyatakan bahwa “..to enable and to compel law making, and also interpretation and aplication of legal rules, to make more account, and more intellegent account, of the social fact upon which law must proceed and to which to be applied “[7]
Sedangkan mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan yang diatur sebagai suatu kewajiban dalam regulasi di Indonesia dapat dijelaskan sebagai sebuah bentuk bahwa hukum merupakan keseimbangan kepentingan, sebagaimana Teori Hukum Roscoe Pound. Menurut Roscoe Pound hukum itu mesti di daratkan dalam dunia nyata, yaitu dunia sosial yang penuh dengan kebutuhan dan kepentingan yang saling bersaing. Pada dasarnya kondisi awal struktur masyarakat selalu berada pada kondisi yang kurang seimbang, selalu ada yang lebih dominan dan sebaliknya. Untuk menciptakan kondisi masyarakat yang lebih seimbang perlu diadakan penataan ulang dalam pola keseimbangan yang proporsional. Dalam hal ini hukum yang bersifat logis analitik dan bersifat abstrak ataupun yang menggambarkan realitas apa adanya tidak mungkin dapat menciptakan keadaan yang berbeda. Maka diperlukanlah hukum yang progresif, hukum sebagai tool of social engineering atau hukum sebagai alat rekayasa sosial[8]. Dalam konteks ini hukum mengenai TJSL masuk dalam regulasi positif di Indonesia untuk menyeimbangkan kepentingan yang ada di dalam kehidupan sosial masyarakat. Seperti diketahui regulasi terhadap TJSL semakin gencar dengan latar belakang karena banyaknya perusahaan yang melepas tanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan yang berakibat juga kerusakan sosial yang diakibatkan oleh kegiatan operasional perusahaannya, misalnya : kasus Lapindo di Sidoharjo Jawa Timur. Sebuah gambaran mengenai kerusakan lingkungan yang menimbulkan kerusakan sosial yang sangat parah bagi masyarakat sekitar perusahaan. Selain kepentingan sosial masyarakat dan lingkungan pada saat ini yang dirugikan, kepentingan generasi yang akan datang untuk memperoleh lingkungan dan kehidupan yang lebih baikpun telah dihancurkan. Sedangkan pihak perusahaan sangat sulit untuk dimintai pertanggungjawaban. Hukum harus mampu bertindak sebagai penyeimbang kepentingan sehingga semua kepentingan terlindungi secara proporsional, oleh karena itu dimasukkanlah TJSL dalam regulasi di Indonesia.
Dalam konteks TJSL kepentingan sosial dan lingkungan yang akan diseimbangan  dengan memasukan dalam regulasi adalah kepentingan sosial dalam kelompok kepentingan sosial menyangkut kemajuan sosial. Kepentingan ini berkaitan dengan terjaminnya hak manusia dalam memanfaatkan alam untuk kebutuhannya,tuntutan agar rekayasa sosial bertambah banyak dan baik. Dengan regulasi kewajiban TJSL maka keterlindungan alam terhadap kerusakan yang disebabkan kegiatan usaha cenderung akan berkurang, sehingga kepentingan sosial dan lingkungan hidup sekitarnya lebih terjamin. Menurut Roscoe Pound peradaban zaman semakin menuntut adanya postulat-postulat hukum baru dan menurutnya postulat hukum yang paling penting adalah tututan pejabat agar mendapat kepastian dalam jabatannya serta kewajiban perusahaan dalam masyarakat industri untuk memikul beban masyarakat. Salah satu postulat Roscoe Pound yang meletakan kewajiban perusahaan untuk memikul beban masyarakat merupakan salah satu dasar CSR.

B.     Regulasi Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagai Sarana Rekayasa Sosial yang Efektif.
Perubahan-perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat disebabkan oleh sebab intern yaitu sebab yang berasal dari masyarakat itu sendiri dan sebab ekstern yaitu sebab ekstern yaitu sebab yang berasal dari luar masyarakat tersebut. Suatu masyarakat lebih mudah berubah bila sering mengadakan kontak dengan masyarakat lain, mempunyai sistem pendidikan yang maju, sistem lapisan sosial yang terbuka, penduduk yang heterogen serta ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang kehidupan tertentu.[9]
Hukum mempunyai beberapa fungsi dalam mewarnai perubahan sosial, yaitu [10]:
1.    Hukum sebagai pemberi bentuk (pedoman perilaku dan pengendali sosial, serta sebagai landasan proses integrasi);
2.    Hukum sebagai penentu prosedur untuk mencapai tujuan masyarakat;
3.    Hukum sebagai alat rekayasa sosial.
Hukum sebagai alat atau sarana rekayasa sosial bisa diartikan sebagai seseorang atau beberapa orang sebagai bagian dari anggota masyarakat yang diberi amanah untuk memimpin lembaga kemasyarakatan sehingga mempunyai kesempatan untuk mengolah sistem sosial yang bersangkutan secara teratur dan terencana dan perubahan tersebut di bawah pengawasan agen of change. Hukum menjadi efektif sebagai alat perubah masyarakat apabila hukum tersebut memenuhi syarat fisiologis atau ideologis, syarat yuridis dan syarat sosiologis. Hukum mempengaruhi tingkah laku manusia atau masyarakat setelah hukum tersebut diketahui oleh masyarakat serta mengalamai proses pelembagaan (institutionalized) dalam diri warga masyarakat atau bahkan dalam tatanan jiwa masyarakat (internalized).
     Namun demikian ada faktor-faktor yang mempengaruhi penentangan terhadap kaidah nilai-nilai baru, yaitu[11] :
1.      Masyarakat, sebagian besar masyarakat tidak mengerti akan kegunaan unsur-unsur baru tersebut.
2.      Perubahan itu sendiri, apabila perubahan tersebut bertentangan dengan kaidah dan nilai yang ada dan berlaku.
3.      Para masyarakat yang kepentingannya tertanam dengan kuatnya cukup berkuasa untuk menolak suatu proses pembaharuan.
4.      Resiko yang dihadapi sebagai akibat dari perubahan ternyata lebih berat daripada mempertahankan ketentraman sosial yang ada sebelum terjadi perubahan.
5.      Masyarakat tidak mengakui wewenang dan kewibawaan para pelopor perubahan.
Hukum sebagai sarana social engineering berarti bahwa hukum digunakan secara sadar untuk mencapai tertib masyarakat sebagaimana dicita-citakan.  Hukum tidak lagi dilihat sebagai tatanan untuk menjaga status quo, tetapi merupakan pengaturan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu secara terencana. Menyikapi kondisi yang ada tersebut, bahwa hukum sebagai produk kebijakan politik tidak selamanya merupakan conditio sine qua non  bagi tujuan yang hendak dicapai. Hal ini menunjukkan hukum mempunyai batas-batas kemampuan tertentu untuk mengakomodasi nilai-nilai yang tumbuh dan hidup dalam komunitas masyarakat, oleh karena itu Roscoe Pound menyatakan bahwa tugas hukum yang utama dalah ”social engineering”. Dalam doktrin ini dikatakan bahwa hukum harus dikembangkan sesuai dengan perubahan-perubahan nilai sosial. Dengan demikian hukum bagi Roscoe Pound merupakan alat untuk membangun masyarakat (law is a tool of social engineering). Sehingga hukum bukan saja berdasarkan pada akal, tetapi juga pengalaman. Akal diuji oleh pengalaman dan pengalaman yang dikembangkan oleh akal.   
Konteks tanggung jawab sosial (TJSL) dalam hal ini ada kewajiban bertanggung jawab atas perintah undang-undang, dan memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan apa pun yang telah ditimbulkan.  Tanggung jawab sosial berada pada ranah moral, sehingga posisinya tidak sama dengan hukum. Moral dalam tanggung ajwab sosial lebih mengarah pada tindakan lahiriah yang didasarkan sepenuhnya dari sikap batiniah, sikap inilah yang dikenal dengan “moralitas” yaitu sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih. Sedangkan tanggung jawab hukum lebih menekankan pada ksesuaian sikap lahiriah dengan aturan, meskipun tindakan tersbeut secara obyektif tidak salah, barangkali baik dan sesuai dengan pandanan moral, hukum, dan nilai-nilai budaya masyarakat. Namun demikian kesesuaian saja tidak dapat dijadikan dasar untuk menarik suatu kesimpulan karena tidak tahu motivasi atau maksud yang mendasarinya.
Bila dikaitkan dengan teori tanggung jawab sosial dengan aktivitas perusahaan, maka dapat dikatakan bahwa tanggung jawab sosial lebih menekankan pada kepedulian perusahaan terhadap kepentingan stakeholders dalam arti luas dari pada kepedulian perusahaan terhadap kepentingan perusahaan belaka. Dengan demikian konsep tanggung jawab sosial lebih menekankan pada tanggung jawab perusahaan atas tindakan dan kegiatan usahanya yang berdampak pada orang-orang tertentu, masyarakat dan lingkungan di mana perusahaan- perusahaan melakukan aktivitas usahanya sedemikian rupa, sehingga tidak berdampak negatif pada pihak-pihak tertentu dalam masyarakat. Sedangkan secara positif hal ini mengandung makna bahwa perusahaan harus menjalankan kegiatannya sedemikian rupa, sehingga dapat mewujudkan masyarakat yang lebih baik dan sejahtera.
Fokus utama Pound dengan konsep social engineering adalah interest balancing, dan yang terpenting adalah tujuan akhir dari hukum yang diaplikasikan dan mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih maju. Demikianlah tujuan utama social engineering adalah mengarahkan kehidupan sosial ke arah yang lebih maju. Hukum sebagai social engineering, bermakna sebagai penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan, atau untuk melakukan perubahan yang diinginkan. Dimana proses perubahan sosial tersebut merupakan suatu proses yang terencana dengan tujuan menganjurkan, mengajak, menyuruh atau memaksa anggota-anggota masyarakat agar mengikuti norma-norma hukum atau tata tertib hukum yang ditetapkan sebagai norma-norma baru. Demikian juga pengaturan mengenai TJSL di Indonesia merupakan sebuah proses yang direncanakan untuk memaksa anggota masyarakat (pelaku usaha) untuk mengikuti ketentuan tentang TJSL yang merupakan sebuah norma baru bagi masyarakat pelaku usaha di Indonesia. Pemberlakuan ketentuan TJSL di Indonesia mempunyai tujuan untuk mengarahkan kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik dan maju. Dalam hal ini kemajuan di masyarakat yaitu keadaan masyarakat yang semakin terberdayakan serta keadaan lingkungan yang semakin lestari. Hukum digunakan untuk mencapai tujuan untuk menciptakan masyarakat yang semakin sejahtera dan lingkungan yang semakin lestari. Serta keadaan dimana para pelaku usaha memasukan masyarakat sekitar tempat usahanya dan lingkungan di tempat usahanya sebagai bagian dari yang terintegrasi dalam usahanya, sehingga mempunyai tanggung jawab untuk mensejahterakannya. Tidak melihat masyarakat dan lingkungan sebagai komponen beban dari keuangan perusahaan.
Fokus utama Pound dengan konsep social engineering adalah interest balancing, dan yang terpenting adalah tujuan akhir dari hukum yang diaplikasikan dan mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih maju. Demikianlah tujuan utama social engineering adalah mengarahkan kehidupan sosial ke arah yang lebih maju. Hukum sebagai social engginering, bermakna sebagai penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan, atau untuk melakukan perubahan yang diinginkan. Dimana proses perubahan sosial tersebut merupakan suatu proses yang terencana dengan tujuan menganjurkan, mengajak, menyuruh atau memaksa anggota-anggota masyarakat agar mengikuti norma-norma hukum atau tata tertib hukum yang ditetapkan sebagai norma-norma baru. Keefektivan hukum untuk melakukan perubahan sosial karena hukum merupakan suatu lembaga sosial yang sifatnya by design, yaitu sebuah produk kecendikiaan yang terencana dan sistematis. Karena sifatnya ini maka niscaya mudah disempurnakan setiap kali demi fungsional sebagai instrumen perubahan sosial.
Yang menjadi pokok pikiran Roscoe Pound adalah [12]:
1.        Ia lebih menelaah akibat-akibat sosial yang aktual dari adanya lembaga-lembaga hukum dan doktrin-doktrin hukum.
2.        Mengajukan studi sosiologia untuk mempersiapkan perundang-undangan dan menganggap hukum sebagai suatu lembaga sosial yang dapat diperbaiki oleh usaha yang bijaksana.
3.        Untuk menciptakan efektivitas cara dalam membuat peraturan perundang-undangan dan memberi tekanan kepada hukum untuk mencapai tujuan sosial.
Roscoe Pound mengemukanan 6 langkah yang harus dilakukan dalam mewujudkan hukum sebagai sarana perubahan sosial, yaitu[13] :
1.      Mempelajari efek sosial yang nyata dari lembaga-lembaga serta ajaran-ajaran hukum;
2.        Melakukan studi sosiologis dalam rangka mempersiapkan perundang-undangan untuk mempelajari pelaksanaannya dalam masyarakat serta efek yang ditimbulkan, untuk kemudian dijalankan;
3.        Melakukan studi tentang bagaimana peraturan hukum menjadi efektif;
4.        Memperhatikan sejarah, artinya mempelajari efek sosial yang ditimbulkan oleh ajaran-ajaran hukum pada masa yang lalu dan bagaimana cara menimbulkannya;
5.        Pentingnya melakukannya penyelesaian individual berdasarkan nalar, bukan berdasarkan hukum semata;
6.        Mengusahakan secara lebih efektif agar tujuan-tujuan hukum dapat tercapai.
Ubi societas Ibi Ius yang berarti dimana ada masyarakat disitu ada hukum, akan tetapi masyarakat terus berkembang dari masyarakat purbakala yang primitif berkembang sampai pada masyarakat modern yang maju seperti saat ini. Oleh karena itu hukum harus mengiringi masyarakat tersebut mengikuti perkembangan dan dinamika masyarakat. Bahkan dipundak hukum punya misi agar hukum dapat secara aktif memodernisasi masyarakat, sehingga hukum dikenal sebagai alat perekayasa sosial.  Dalam konteks ini hukum merupakan benda mati yang tidak dalam posisi untuk mampu memodernisasi dirinya sendiri. Modernisasi hukum merupakan produk interaksi perkembangan hukum dengan perkembangan sosial. Cepat lambatnya suatu perkembangan atau modernisasi hukum dipengaruhi oleh beberapa stimulus yuridis. Menurut Friedmann stimulus yuridis tersebut adalah[14] :
1.        Emergensi nasional, seperti perlunya segera dilakukan suatu redistribusi natural resources atau standar keadilan yang baru.
2.        Pressure dan aksi yang dilakukan oleh kelompok kecil masyarakat yang menghendaki perubahan hukum.
3.        Ketidakadilan hukum secara teknis atau inskonsistensi hukum yang meminta segera dikoreksi.
4.        Perkembangan science dan teknologi baru yang membutuhkan perubahan hukum sesegera mungkin.
Masyarakat mengalami suatu bentuk perubahan karena masyarakat dicirikan sebagai masyarakat manusia yang selalu berpotensi mengalami konflik antara idea dan kenyataan.[15] Demikian juga regulasi terhadap TJSL akan mengalami dinamika yang sangat dinamis dalam perkembangannya guna menyesuaikan diri terhadap tuntutan kebutuhan hukum. Seperti kita ketahui sebelumnya bahawa prinsip dari TJSL telah diatur dalam banyak undang-undang sektoral seperti halnya pengaturan program kemitraan dengan pengusaha dan program bina lingkungan BUMN yang diatur dalam Peraturan Menteri Negara BUMN No.Per -05/MBU/2007. Pengaturan mengenai program kemitraan dan program bina lingkungan merupakan lex specialis yang berlaku khusus bagi BUMN, namun jika BUMN tersebut bergerak di bidang Sumber Daya Alam maka BUMN tersebut tetap terikat pada ketentuan TJSL yang diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas maupun Undang-Undang Penanaman Modal. Bentuk perubahan yang dinamis tersebut, dimana sebelumnya diatur secara sektoral kemudian diatur secara khusus menjadi sebuah kewajiban hukum yang mengikat merupakan wujud dari hukum yang sifatnya by design. Dinamika tersebut merupakan bentuk penyesuaian hukum terhadap tuntutan perkembangan yang terjadi di masyarakat, keadaan sosial masyarakat dalam hal ini masyarakat pelaku usaha yang tingkat kesadaran kepatuhan untuk melaksanakan prinsip TJSL yang diterapkan secara sukarela, membuat hukum harus mampu menjadi alat untuk merubah perilaku sosial pelaku usaha tersebut dengan menjadikan TJSL sebagai sebuah kewajiban hukum.
Dalam masyarakat yang disebut “beradab” oleh Roscoe Pound, tiap orang harus berpegang pada asumsi sebagai berikut :
1.      Orang lain tidak akan melakukan penyerangan yang sewenang-wenang terhadap dirinya.
2.      Tiap orang bisa menguasai apa yang mereka peroleh dalam tata tertib sosial dan ekonomi yang ada, dan menggunakannya untuk kepentingannya sendiri.
3.      Orang lain akan bertindak dengan itikad baik, sehingga akan :
a.     Memenuhi apa yang diharapkan,
b.    Melakukan usaha sesuai dengan harapan masyarakatnya.
4.      Ada jaminan tiap orang akan mengembalikan secara sepadan apa yang mereka peroleh secara tidak wajar yang merugikan orang lain.
5.      Tiap orang akan bertindak sangat hati-hati, agar tidak menimbulkan kerugian bagi orang-orang lain.
Dalam kaitannya dengan pemberlakuan TJSL sebagai suatu kewajiban hukum dalam regulasi di Indonesia, maka seperti asumsi masyarakat yang “beradab” menurut Rosecoe Pound, keadaan masyarakat setelah pemberlakuan TJSL ini akan membentuk masyarakat pelaku usaha yang mempunyai itikad baik. Itikad baik tersebut diwujudkan untuk memenuhi apa yang diharapkan oleh tujuan regulasi serta melakukan usaha sesuai harapan masyarakat, yaitu dengan memberdayakan masyarakat dan memperhatikan kelestarian lingkungan. Sikap kehati-hatian masyarakat pelaku usaha juga merupakan suatu keadaan yang hendak diciptakan dengan pemberlakuan TJSL sebagai kewajiban hukum bagi pelaku usaha di Indonesia. Keadaan-keadaan ini diasumsikan ada dalam masyarakat ketika keseimbangan kepentingan telah diciptakan dengan menggunakan hukum sebagai sarana untuk melakukan suatu perubahan sosial.
Permasalahan hukum sebagai alat perubahan sosial, berkaitan dengan fungsi hukum di dalam pembangunan, dan juga merupakan hubungan antara perubahan hukum dan perubahan masyarakat. Hubungan timbal balik antara keduanya berkaitan dengan masalah pada bidang mana peranan hukum lebih besar daripada pada bidang yang lain. Dan juga sebaliknya apakah hukum yang ada dipandang sebagai alat yang mendukung perubahan atau justru sebaliknya, menjadi penghambat adanya perubahan. Hubungan antara hukum dan perubahan sosial menjadi sentral wacana hukum modern. Fungsi hukum dalam melayani perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat menjadi salah satu ciri adanya suatu sistem hukum.
Hukum tidak berlaku karena memiliki otoritas untuk mengatur, melainkan karena diterima oleh masyarakat. Dengan demikian kepatuhan hukum merupakan hasil interaksi yang tidak sederhana. Kepatuhan yang muncul sebagai dorongan dari dalam diri manusia menjadi hal sulit diimplementasikan dalam hukum modern,karena hukum modern banyak dilahirkan dari lembaga di luar masyarakat. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan hukum adalah[16] :
1.    Pengetahuan masyarakat mengenai adanya peraturan tersebut.
2.    Kebiasaan yang ada di dalam masyarakat.
3.    Keyakinan masyarakat akan hal-hal yang diatur didalam UU.
Demikian juga dalam konteks kepatuhan masyarakat pelaku usaha terhadap ketentuan TJSL dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut di atas, terutama faktor keyakinan masyarakat pelaku usaha akan nilai-nilai yang diatur dalam ketentuan tersebut. Seperti diketahui bersama bahwa kepatuhan atau ketaatan terhadap suatu ketentuan hukum tidak hanya semata-mata dipengaruhi oleh gatra konigtif yang hanya akan menimbulkan ketaatan yang dangkal berupa penyesuaian perilaku secara formal dan lahiriah. Suatu kepatuhan akan menjadi efektif apabila berdasarkan gatra afektif. Dalam hal ini diharapkan ketaatan terhadap ketentuan TJSL merupakan suatu kepatuhan sebagai sebuah keberpihakan terhadap kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan dan keyakinan akan nilai-nilai yang terkandung dalam TJSL tersebut sebagai suatu kebenaran sehingga sudah selayaknya untuk dipatuhi. Dalam bekerjanya hukum dalam suatu masyarakat, meliputi 4 (empat) proses utama, yaitu[17] :
1.      Proses adaptasi, meliputi ekonomi, penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2.      Proses penerapan tujuan/pengambilan keputusan yang meliputi sistem politik.
3.      Proses mempertahankan pola masyarakat yang meliputi sosialisasi.
4.      Proses integrasi yang dilakukan oleh hukum.


C.    Permasalahan Implementasi Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaaan di Indonesia

Berbagai pro-kontra mengenai regulasi TJSL dalam hukum positif di Indonesia memberikan dampak tersendiri bagi pelaksanaan TJSL. Tentu saja kedua ketentuan undang-undang tersebut membuat fobia sejumlah kalangan terutama pelaku usaha lokal. Apalagi munculnya Pasal 74 UU Perseroan Terbatas  yang terdiri dari 4 ayat itu sempat mengundang polemik,  karena diberlakukannya TJSL sebagai suatu kewajiban. Para Pengusaha lokal yang tergabung dalam APKINDO beralasan TJSL sebagai kegiatan di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam perundang-undangan formal, seperti : ketertiban usaha, pajak atas keuntungan dan standar lingkungan hidup, jika diatur sebagai suatu kewajiban selain bertentangan dengan prinsip kerelaan, TJSL juga akan memberi beban baru kepada dunia usaha. Apalagi kalau bukan menggerus keuangan suatu perusahaan. Pikiran-pikiran yang menyatakan kontra terhadap pengaturan TJSL menjadi sebuah kewajiban, disinyalir dapat menghambat iklim investasi baik bagi perseroan yang sudah ada maupun yang akan masuk ke Indonesia.  Dalam Pasal 74 ayat (4) Undang_Undang Perseroan Terbatas berbunyi bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah”. Dan Peraturan Pemerintah yang dimaksud belum diterbitkan.
Masih adanya perbedaan definisi CSR dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dengan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaannya. UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal  menggunakan istilah ‘Tanggung Jawab Sosial Perusahaan’, sedangkan No. 40 Tahun 2007 tentang PT menggunakan istilah ‘Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan’, meski makna yang terkandung pada dasarnya sama. Sepertinya pembuat UU Penanaman Modal menerjemahkan langsung dari istilah ‘corporate social responsibility’. Selain istilah yang berbeda, uraian definisinya pun tidak sama meski dalam penjelasan pasal 74(1) UU Perseroan Terbatas, UU Perseroan Terbatas mengutip definisi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang digunakan dalam UU Penanman Modal sebagai tujuan dari ketentuan tentang TJSL dalam UU Perseroan Terbatas.             
Perbedaan mengenai sanksi juga menimbulkan masalah tersendiri. Dimana dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, sanksi telah diatur dalam pasal 34 yang meliputi sanksi administratif maupun sanksi lainnya yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, sanksi bagi perusahaan yang tidak melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan  tidak diatur secara spesifik melainkan ‘diserahkan’ pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam penjelasan pasal 74 (3) UU Perseroan Terbatas, disebutkan bahwa sanksi yang dikenakan adalah sanksi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sanksi sebagaimana diatur dalam UU Penanaman Modal bagi perusahaan yang tidak melakukan tanggung jawab sosial dapat pula diberlakukan bagi perusahaan – perusahaan yang tidak melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana diatur dalam UU Perseroan Terbatas, sepanjang kriteria perusahaan yang dimaksud adalah sesuai dengan pengaturan dalam UU Penanaman Modal.  Begitu juga dengan sanksi-sanksi yang ada dalam UU terkait lainnya seperti UU Perlindungan Konsumen, UU Lingkungan Hidup, UU Tenaga Kerja, dan sebagainya.
Dalam Pasal 74 ayat (3) Undang-Undang Perseroan Terbatas disebutkan bahwa Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam penjelasan Pasal 74 ayat (3) tersebut diatas diatur bahwa yang dimaksud dengan “dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”adalah dikenai segala bentuk sanksi yang diatur dalam peraturan perundangundangan yang terkait. Dari penjelasan pasal tersebut di atas berarti bahwa regulasi tetntang TJSL beserta sanksinya dikembalikan lagi pada kewenangan undang-undang yang bersifat sektoral yang terkait dengan sumber daya alam misalnya : UU Kehutanan, UU Pertambangan, UU Perikanan dan lain-lain. Yang menjadi permasalahan adalah TJSL dalam uu sektoral tidak diatur secara eksplisit, seperti misalnya dalam UU Kehutanan. Di dalam UU Kehutanan tidak dikenal istilah TJSL.
Subyek yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas berbeda dengan subyek yang diatur dalam Penjelasan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Subyek yang diatur dalam UU Perseroan Terbatas yang diwajibkan melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan dibatasi hanyalah perusahaan yang ‘menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam’. Pengaturan ini membatasi jenis-jenis perusahaan yang harus melakukan TJSL. Tapi jika membaca penjelasan pasal 74 (1) UU Perseroan Terbatas, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam adalah yang usahanya adalah memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam. Sedangkan yang menjalankan kegiatan usahanya berkaitan dengan sumber daya alam adalah yang kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Penjelasan Pasap 74 ayat (1) tersebut dapat diinterpretasikan berlaku bagi seluruh sektor industri tanpa terkecuali karena apabila dicermati lebih teliti, maka sebenarnya seluruh aktifitas manusia di muka bumi ini memiliki dampak terhadap eksistensi sumber daya alam.
Pengimplementasian ketentuan tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas  dapat menimbulkan beberapa masalah. Misalnya tentang ketidakjelasan perusahaan-perusahaan yang wajib melakukan TJSL. Hal ini timbul karena kurang selarasnya pengaturan dalam pasal 74 dengan penjelasan pasal tersebut.  Jika mengacu pada pasal 74 ayat (1) UU Perseroan Terbatas, maka perusahaan seperti bank, perusahaan asuransi, dan lain-lain tidak diwajibkan untuk melakukan TJSL. Namun jika mendasarkan pada penjelasan pasal 74 ayat (1) UU Perseroan Terbatas, maka semua perusahaan sebenarnya bisa dikenakan kewajiban melakukan TJSL. Dalam pelaksanaan TJSL akhirnya terpulang kembali pada komitmen perusahaan masing-masing. Kepatuhan terhadap hukum adalah kewajiban ‘standar’ yang harus dipenuhi. Namun melakukan sesuatu yang beyond the law adalah lebih baik lagi.
Selain itu, permasalahan lain yang ditimbulkan akibat masih beragamnya definisi mengenai Coorporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) adalah kegiatan apa yang dapat dinamakan sebagai CSR/ TJSL? Bagaimana kita bisa menilai bahwa suatu Perusahaan telah melakukan TJSL?  Jika menilik pada konsep asalnya maka sebenarnya perusahaan yang telah memperhatikan kepentingan dan mengusahakan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya melalui pemberian upah dan tunjangan-tunjangan kesehatan dan lain-lain serta yang telah menjaga serta melestarikan lingkungan hidup dalam kegiatan-kegiatan operasional perusahaan sebenarnya telah melakukan CSR. Begitu juga dengan perusahaan-perusahaan yang memperhatikan dan mengutamakan kepentingan konsumen dengan memberikan produk yang terbaik dan aman  telah juga melakukan CSR. Hal-hal tersebut di atas sebenarnya dapat dikategorikan sebagai pelaksanaan CSR dalam arti sempit atau dalam arti pelaksanaan CSR secara ‘minimum’ mengingat kegiatan-kegiatan tersebut adalah berhubungan langsung dengan pelaksanaan bisnisnya. Atau kegiatan yang dilakukan perusahaan-perusahaan yang melakukan CSR dengan ‘good will’ dalam semua aspek kegiatan usahanya, seperti  penyediaan bahan baku, pengolahan, proses distribusi, pemasaran, hubungan dengan tenaga kerja, pengembangan masyarakat dan ramah lingkungan.
Kurang efektifnya implementasi regulasi Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan di Indonesia juga dipengaruhi oleh faktor masyarakat. Seperti kita ketahui bersama bahwa tingkat kesejahteraan penduduk di Indonesia termasuk rendah, sehingga penduduk yang hidup di bawah standar sejahtera lebih banyak daripada penduduk yang tergolong sejahtera. Kesejahteraan penduduk ini sangat berpengaruh terhadap tingkat pendidikan dan tingkat kekritisan dalam menanggapi suatu masalah. Sebagian besar penduduk Indonesia pada saat membeli suatu produk belum memperhatikan apakah produk tersebut merupakan suatu produk ramah lingkungan atau tidak, apakah produsen melakukan pencemaran atau pengrusakan lingkungan atau tidak. Jangankan untuk memperhatikan suatu produk ramah lingkungan, terkadang karena tidak ada pilihan lain karena faktor kesejahteraan tersebut, kesehatan dirinyapun terabaikan. Di Indonesia jumlah konsumen yang mengkritisi produk yang ramah lingkungan masih sangat sedikit. Hal ini menjadi salah satu faktor penghambat keefektifan penerapan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan terhadap kelestarian lingkungan. Yang diharapakan dalam penerapan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan ini adalah mekanisme pasar, pasar yang akan menyeleksi produk yang berada di pasar. Produk yang ramah lingkungan dan produsen yang taat dalam melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan akan menjadi produk yang dipilih di pasar, sedangkan produk dan produsen yang tidak ramah lingkungan tidak dipilih oleh konsumen. Dengan mekanisme seperti ini tentu saja produsen yang memperhatikan kelestarian lingkungan akan memperoleh profit perusahaan yang lebih besar daripada perusahaan yang tidak peduli lingkungan atau justru menjadi pencemar/ perusak lingkungan. Hal ini akan menjadi penekan yang efektif bagi perusahaan untuk memperhatikan lingkungan hidup.
Selain itu pemahaman masyarakat dan pemerintah, dalam hal ini masyarakat pengusaha maupun masyarakat pada umumnya, memandang pengrusakan lingkungan sebagai sebuah peristiwa biasa saja, bukan sebuah pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Hal ini menimbulkan tingkat perhatian semua elemen terhadap kelestarian lingkungan tidak maksimal.

IV.             Kesimpulan

1.      Memasukan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan ke dalam regulasi di Indonesia sebagai sebuah kewajiban hukum, dimana hukum difungsikan sebagai :
a.     Sebagai alat penyeimbang kepentingan dalam masyarakat.
b.    Sebagai sarana rekayasa sosial yang efektif.
2.    Dalam  pelaksanaanya Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) mengalami hambatan-hambatan, yaitu :
a.    Pro-kontra di kalangan pengusaha sendiri terhadap pengaturan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) sebagai sebuah kewajiban hukum.
b.    Belum adanya aturan pelaksana yang mengatur lebih lanjut tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
c.    Masih adanya perbedaan definisi CSR dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dengan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
d.   Perbedaan mengenai sanksi dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
e.    Subyek yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas berbeda dengan subyek yang diatur dalam Penjelasan undang-undang tersebut.
f.     Masih beragamnya definisi mengenai Coorporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL).
g.    Kurang efektifnya implementasi regulasi Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan di Indonesia juga dipengaruhi oleh faktor masyarakat.
h.    Pemahaman masyarakat dan pemerintah, dalam hal ini masyarakat pengusaha maupun masyarakat pada umumnya, memandang pengrusakan lingkungan sebagai sebuah peristiwa biasa saja, bukan sebuah pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

V.                SARAN

Dari paparan di atas, terutama menyangkut hambatan pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL), kami sampaikan beberapa saran sebagai berikut :
1.      Pemerintah segera membuat Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, dalam RPP dapat dipertegas cakupan mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL).
2.      Perlu ditetapkan adanya institusi pemerintah tertentu untuk mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan TJSL ini secara obyektif dan transparan.
3.      Perlunya sosialisasi mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan kepada masyarakat, sehingga diharapkan masyarakatpun dapat menjadi konsumen yang cerdas dalam memilih produk dari suatu perusahaan.
4.      Peningkatan pemahamam dan kesadaran pemerintah dan masyarakat akan keberadaan hak asasi atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.




















Daftar Pustaka

Adam Podgorecki & Christoper J. Whelan, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987.

Bernard L Tanya, Yoan N. Simanjuntak,  Markus Y. Hage; Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010.

Hans Kelsen,  Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, 2009.

Moh. Yamin, Bahan Kuliah Sosiologi Hukum Magister Hukum UNS, 2011.

Munir Fuady,  Aliran Hukum Kritis, Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

Roberto M. Urger, Teori Hukum Kritis, Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern, Nusa Media, Bandung, 2007.

Sabian Utsman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Makna Dialog antara Hukum dan Masyarakat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009.

Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, 2007.

Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Jogjakarta, 2009.

Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Genta Publishing, Jogjakarta, 2010.

Satjipto Rahardjo; Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah; Muhammadyah University Press, Surakarta , 2002.

Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.
Yesmil Anwar & Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2008.
































[1] Moh. Yamin, Bahan Kuliah Sosiologi Hukum Magister Hukum UNS, 2011.
[2] Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Jogjakarta, 2009, hal.5.
[3] Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, 2007, hal. 31.
[4] Hans Kelsen; Pengantar Teori Hukum; Nusa Media; Bandung;2009, hal. 79.
[5] Adam Podgorecki & Christoper J. Whelan, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal.256.
[6] Bernard L Tanya, Yoan N. Simanjuntak,  Markus Y. Hage; Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hal 155.
[7] Ibid, hal. 161.
[8] Loc.cit, hal 155.

[9] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal 112.
[10] Sabian Utsman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Makna Dialog antara Hukum dan Masyarakat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hal. 72.
[11]  Opcit, Soerjono Sukanto; Pokok-Pokok Sosiologi Hukum;, hal.113
[12] Yesmil Anwar & Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2008, hal.143.
[13] Opcit. Bernard L Tanya; Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, hal .163.
[14] Munir Fuady,  Aliran Hukum Kritis, Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 52.
[15] Roberto M. Urger; Teori Hukum Kritis, Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern, Nusa Media, Bandung 2007, hal. 296.
[16] Satjipto Rahardjo; Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah; Muhammadyah University Press, Surakarta , 2002, hal.39.
[17] Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Genta Publishing, Jogjakarta, 2010, hal. 126.