Selasa, 29 November 2011

Kelemahan Kebijakan Pembentukan Daerah Otonom Baru

Kelemahan Kebijakan Pembentukan Daerah Otonom Baru

A.           Kebijakan Pembentukan Daerah Otonom Baru sebagai Upaya Peningkatan Pelayanan Publik.

Indonesia merupakan suatu negara yang mempunyai wilayah yang sangat luas, jumlah penduduk yang besar dengan tingkat kemajemukan penduduk yang sangat tinggi, keadaan ini tidak memungkinkan Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan pemerintahan secara efektif tanpa melibatkan perangkat Pemerintahan Daerah dan memberikan sebagian kewenangannya kepada Pemerintah Daerah otonom. Untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut diperlukannya desentralisasi selain dekonsentrasi. Pada akibatnya maka Salah satu pembangunan yang terjadi di Indonesia mengalami gap yang sangat besar antara pusat dan daerah serta tidak adanya pemerataan hasil-hasil pembangunan. Daerah sebagai pemilik potensi-potensi pembangunan seperti sumber daya alam dan potensi jasa lainnya justru tidak mendapatkan pembagian hasil dalam porsi yang berimbang dari Pemerintah Pusat. Sumber daya daerah terserap tetapi hasilnya tidak dapat dirasakan maksimal oleh masyarakat di daerah.  Selain itu masyarakat di daerah tidak mempunyai akses terhadap pelayanan publik yang baik.
Untuk mengatasi masalah pelayanan publik yang buruk terhadap masyarakat di daerah, maka pemerintah membuat kebijakan tentang desentralisasi termasuk di dalamnya adalah kebijakan pembentukan suatu daerah otonom baru. Seperti telah diketahui bersama bahwa kebijakan publik merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seseorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau persoalan. Maka diharapkan dengan kebijakan pembentukan daerah otonom baru akan memperpendek rentang kendali antara pemerintah dan masyarakatnya, sehingga diharapkan masyarakat dapat lebih terakomodasi kebutuhannya termasuk di dalamnya optimalisasi pelayanan publik.
Pelayanan umum atau pelayanan publik menurut Keputusan Menteri Penerapan Aparatur Negara No. 81 Tahun 1993 adalah segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah pusat, di daerah dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-undangan[1].  Dalam suatu pelayanan publik terdapat 5 (lima) sumber kualitas yang ada,yaitu [2]:
1.      Program, kebijakan dan sikap yang melibatkan komitmen dari manajemen puncak;
2.      Sistem informasi yang menekankan ketepatan, baik pada waktu maupun detail;
3.      Desain produk yang menekankan keandalan dan perjanjian ekstensif produk sebelum dilepas ke pasar;
4.      Kebijakan produksi dan tenaga kerja yang menekankan peralatan yang terpelihara dengan baik, dan penemuan penyimpangan secara cepat;
5.      Manajemen vendor yang menekankan kualitas sebagai sasaran utama.
Pelayanan publik menjadi titik strategis dalam memulai pengembangan good governance di Indonesia karena : 1) Pelayanan publik menjadi ranah dimana Negara yang diwakili Pemerintah berinteraksi dengan lembaga-lembaga non pemerintah, 2) Berbagai aspek good governance dapat diartikulasikan secara relative lebih mudah dalam ranah pelayanan publik, 3) Pelayanan publik  melibatkan kepentingan semua publik governance.
Kebijakan mengenai pembentukan daerah baru, penghapusan dan penggabungan daerah khusus diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004. Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Pembentukan daerah menjadi Provinsi, Kabupaten, Kota dapat dilihat dari 3 (tiga) sisi logika, yaitu :
1.      Logika Formal (legislasi)
Pemekaran wilayah disebabkan dukungan Undang-Undang formal, sekaligus dengan Undang-Undang ini memberi peluang pada daerah untuk berapresiasi sehingga terjadi banyak daerah berlomba menjadikan daerahnya jadi daerah otonom.
2.      Logika Realitas
Memandang pembentukan daerah merupakan hal yang benar-benar urgen secara realitas, bahwa untuk memecahkan berbagai macam persoalan yang ada di daerah, alternatif terbaiknya hanyalah pembentukan daerah baru.
3.      Logika Politik
Adanya pergerakan sosial kemasyarakatan ditingkat lokal dengan ide pemekaran dan pada saat bersamaan dengan membawa dan mengusung etnisitas daerah sebagai penguat menuju terjadinya pemekaran.
Pembentukan dan pemekaran wilayah otonom mempunyai urgensi antara lain[3] :
1.      Meningkatakan pelayanan pemerintah kepada masyarakat sehingga kesejahteraan masyarakat akan secara cepat terangkat.
2.      Memperpendek rentang kendali manajemen pemerintahan dan pembangunan, sehingga fungsi pemerintahan akan lebih efektif, efisien dan terkendali.
3.      Proses pemberdayaan masyarakat dan menumbuhkan inisiatif, kreativitas, dan inovasi masyarakat dalam pembangunan.
4.      Menumbuhkan dan mengembangkan proses pembelajaran berdemokrasi masyarakat dan inovasi masyarakat dalam pembangunan.
5.      Khusus untuk daerah perbatasan atau kepulauan, karena :
a.       Membuka keterisolasian masyarakat akibat keterbelakangan dan kemiskinan daerah;
b.      Membuka akses bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, sosial dan budaya;
c.       Meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat kepulauan;
d.      Memajukan daerah kepulauan sejajar dengan daerah daratan, bahkan menjadikan wilayah kepulauan sebagai beranda depan atau show window NKRI;
e.       Memperkuat sistem pertahanan keamanan nasional serta tegaknya NKRI.
Dalam prakteknya pemekaran daerah mempunyai problematikanya sendiri, yaitu :
1.    Dengan adanya dukungan formal melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 muncul kecenderungan banyaknya daerah yang meminta dimekarkan padahal ditinjau dari kekhususan dan syarat teknis (kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya dan pertahanan keamanan) tidak mendukung.
2.    Kenyataan bahwa pemekaran wilayah tidaklah menjamin secara serta merta membawa pada perubahan yang diinginkan, yaitu kesejahteraan dan peningkatan pelayanan publik. Hal ini karena inisiatif pemekaran dan pembentukan daerah tidaklah merupakan bagian suara terbesar masyarakat di daerah yang bersangkutan, melainkan merupakan inisiatif elit politik maupun birokrasi yang cenderung mengejar kekuasaan.
Sebagaimana disebutkan dalam problematika di atas dalam beberapa kasus justru pembentukan daerah otonom baru menimbulkan berbagai permasalahan seperti potensi konflik horisontal antar daerah mengenai tata batas maupun keberatan masyarakat daerah otonom baru yang tidak bersedia untuk bergabung di dalam daerah otonom baru. Keadaan yang rentan dengan konflik ini berimbas juga pada pelayanan publik kepada masyarakat sehingga tujuan pembentukan daerah otonom baru untuk meningkatkan pelayanan publik dari pemerintah kepada masyarakat justru tidak tercapai.
Permasalahan dalam pelaksanaan otonomi daerah ini terkait dengan kesalahpahaman mengenai otonomi daerah, yaitu[4] :
a.         Otonomi dikaitkan semata-mata hanya dengan uang.
b.        Daerah belum siap dan belum siap dan mampu dalam melaksanakan otonomi daerah.
c.         Dengan otonomi daerah pemerintah Pusat akan melepaskan tanggungjawabnya untuk membantu dan membina daerah.
d.        Dengan otonomi maka daerah dapat melakukan apa saja.
e.         Otonomi daerah akan menciptakan raja-raja kecil di daerah dan memindahkan korupsi di daerah.
Sebagai sebuah kebijakan publik, kebijakan pembentukan daerah otonom baru tidak meraih dampak yang diinginkan yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah dalam hal peningkatan pelayanan publik, justru kebijakan ini menimbulkan permaslahan-permasalahan baru. Sesuai dengan teori Anderson mengenai faktor-faktor yang menjadi penyebab suatu kebijakan tidak mencapai tujuan kebijakan, dalam kasus kebijakan pembentukan daerah otonom baru adalah karena :
1.      Masalah rendahnya kesejahteraan masyarakat dalam hal ini pelayanan publik yang diterima masyarakat yang sangat minim, merupakan permasalahan yang ditimbulkan oleh banyak faktor bukan semata-mata hanya menyangkut rentang kendali antara pemerintah dan masyarakatnya yang jauh. Rendahnya pelayanan publik kepada masyarakat di daerah disebabkan juga kemampuan SDM pelayan publik yang rendah juga motivasi pelayanan yang rendah. Jadi ketika permasalahan yang disebabkan oleh banyak faktor hanya diatasi dengan kebijakan yang hanya menyelesaikan salah satu faktor saja maka tujuan kebijakan tidak akan tercapai optimal.
2.      Cara orang menanggapi atau menyesuaikan diri dengan kebijakan publik yang justru meniadakan dampak-dampak yang diinginkan. Dalam hal ini ketika aparat pemerintah di daerah otonom baru tersebut melihat kebijakan pembentukan otonom baru tidak melihat sebagai upaya untuk memperpendek rentang kendali guna meningkatkan kualitas pelayanan publik, tetapi justru melihatnya sebagai peluang untuk memanfaatkan kewenangannya maka yang lahir kemudian adalah munculnya raja-raja kecil di daerah otonom baru.

B.            Ketidakjelasan Petunjuk Pelaksanaan Menimbulkan Permasalahan dalam Implementasi

Implementasi kebijakan adalah alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan. Dalam kebijakan pembentukan daerah otonom baru dalam implementasinya sulit untuk menentukan suatu daerah yang pantas atau tidak pantas untuk dijadikan suatu daerah otonom baru, sehingga pada akhirnya justru akan menimbulkan daerah-daerah yang miskin dan tidak mampu mengurus daerahnya sendiri.
Kebijakan pembentukan daerah otonom baru diatur dalam Pasal 4, 5, 6, 7 dan 8 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa pembentukan daerah harus memenuhi syarat administratif, syarat teknis dan syarat fisik. Adapun syarat administratif untuk pembentukan provinsi adalah adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan Gubernur, serta rekomendasi Menteri dalam negeri. Syarat administratif untuk pembentukan kabupaten/kota meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD Provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri.. Sedangkan syarat teknis mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan dan faktor lain  yang memungkinkan penyelenggaraan otonomi daerah  (kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan daerah). Syarat fisik yang harus dipenuhi dalam pembentukan daerah adalah paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten, serta paling sedikit 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan.
Pembentukan daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah.  Dalam lampiran Peraturan Pemerintah tersebut juga diatur mengenai penilaian syarat teknis pembentukan daerah, dimana suatu calon daerah otonom direkomendasikan menjadi daerah otonom baru apabila calon daerah otonom dan daerah induknya (setelah pemekaran) mempunyai total nilai seluruh indikator dengan kategori sangat mampu (420-500) atau mampu (340-419) serta perolehan total nilai indikator faktor kependudukan (80-100), faktor kemampuan ekonomi (60-70), faktor potensi daerah (60-75) dan faktor kemampuan keuangan (60-70).
Namun kriteria yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah tersebut masih merupakan ketentuan yang mengambang dan kurang ampuh untuk menjadi filter untuk mengukur kemampuan suatu daerah untuk menjadi suatu daerah otonom baru. Berbagai usulan dari pihak yang mengatasnamakan rakyat yang didukung oleh DPRD-nya terus saja diluluskan oleh DPR dan Rencana Undang-Undang tentang pembentukan daerah baru terus saja disahkan. Dengan kriteria yang tidak rigid ini menimbulkan besaran sumberdaya, pembagian wilayah di Indonesia sangat bevariatif. Dalam hal jumlah penduduk, misalnya provinsi yang terkecil di huni oleh kurang dari 800.000 jiwa (Gorontalo) sedangkan yang terbesar dihuni oleh 35 juta jiwa (Jawa Timur). Untuk Kabupaten/Kota  jumlah penduduk terkecil dihuni oleh 11.800 jiwa (Kabupaten Supiori), sedangkan yang terbesar dihuni oleh 4,1 juta jiwa ( Kota Bandung). Hal ini bisa menjadi sebuah perbandingan sebuah provinsi (Gorontalo) hanya memiliki jumlah penduduk seperlima dari Kota Bandung yang berstatus sebagai Kota.
Menurut Edward III, dalam implementasi kebijakan publik terdapat variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik, yaitu komunikasi, sumber-sumber, kecenderungan-kecenderungan, struktur birokrasi, pengaruh struktur organisasi terhadap implementasi. Dalam komunikasi kejelasan merupakan faktor yang penting dalam implementasi kebijakan publik. Dalam implementasi kebijakan jika petunjuk-petunjuk pelaksanaan tidak jelas akan menimbulkan kebingungan bagi para pelaksana tentang apa yang harus mereka lakukan. Selain itu ketidakjelasan akan membuka peluang bagi para pelaksana untuk mengimpretasikan sesuai dengan pandangan mereka yang kadang kala bertentangan dengan pandangan pembuat kebijakan atau akan berbeda dengan tujuan kebijakan. Namun demikian ketidakjelasan justru mendukung fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Ketidak jelasan komunikasi kebijakan ini dipengaruhi oleh faktor kompleksitas kebijakan publik, keinginan-keinginan untuk tidak mengganggu kelompok-kelompok masyarakat, kurangnya konsensus mengenai tujuan-tujuan kebijakan, masalah-masalah dalam memuai suatu kebijakan, menghindari petanggungjawaban kebijakan dan sifat pembuatan kebijakan pengadilan
Dalam kebijakan pembentukan daerah otonom baru, dimana aturan kriteria mengenai daerah yang pantas menjadi daerah otonom baru belum rigid merupakan salah satu bentuk ketidakjelasan dalam informasi sehingga dalam implementasinya banyak melahirkan permasalahan diantaranya justru menimbulkan daerah-daerah yang tidak mampu mandiri, Tidak segeranya dibentuk kriteria yang lebih rigid mengenai daerah yang pantas menjadi daerah otonom baru disebabkan faktor kompleksitas kebijakan publik itu sendiri dan kurangnya konsensus mengenai tujuan kebijakan.
Dengan tidak adanya kriteria yang pasti banyak menimbulkan daerah-daerah otonom baru yang sebenarnya kurang mampu untuk mengatur urusannya sendiri. Daerah otonom baru yang dipaksakan ini dapat mengancam pelayanan publik kepada masyarakat. Secara logika berfikir yang sehat masyarakat menginginkan membentuk daerah otonom yang baru supaya dapat mengakses pelayanan publik yang lebih baik daripada sebelum pembentukan daerah otonom baru. Namun ketika daerah otonom baru tersebut mempunyai kemampuan dan potensi yang belum memadai untuk menjadi daerah otonom, maka pelayanan kepada masyarakat akan lebih buruk daripada sebelumnya.
Kebijakan pembentukan daerah otonom baru menjadi sedikit sulit diimplementasikan selain karena alasan di atas. Juga karena kebijakan ini termasuk kebijakan yang mempunyai potensi menimbulkan masalah, yaitu karena kebijakan pembentukan daerah otonom baru merupakan kebijakan yang baru. Sebagai suatu kebijakan yang baru, kebijakan pembentukan daerah otonom baru mengalami hambantan dalam implementasi karena tujuan-tujuan yang ingin dicapai tidak jelas dan mengalami ketidak konsistenan dalam petunjuk pelaksanaan. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa tentang standar daerah yang dapat dijadikan daerah otonom baru belum merupakan suatu yang rigid, sehingga justru seringkali dimanfaatkan untuk kepentingan pelaksana kebijakan untuk meloloskan daerah-daerah tertentu yang sebenarnya dibawah standard yang ada menjadi daerah otonom baru asal ada keuntungan yang dapat mereka ambil, misalnya saja suap.

C.           Berbagai Kepentingan dalam Pembentukan Daerah Otonom Baru

Salah satu hal yang tidak terbantahkan dalam era sekarang ini adalah begitu kuatnya tuntutan peningkatan kualitas keterlibatan masyarakat serta akomodasi masukan dari warga Negara dalam perumusan kebijakan atau keputusan. Gagasan yang ditawarkan atas pendekatan pengambilan kebijakan yang selama ini dirasakan cenderung elistis teknokrasi dan top-down, adalah pendekatan yang sifatnya lebih parsitipatif dan berbasis komunitas dalam perumusan kebijakan atau pengambilan kebijakan.[5] Terilhami oleh nilai demokratis tersebut maka kebijakan pembentukan daerah otonom baru pun mensyaratkan nilai demokrasi dalam kebijakan tersebut.
Otonomi daerah yang dilaksanakan dengan salah satu tujuannya sebagai perwujudan demokrasi justru tidak dapat tercapai sejak awal proses terbentuknya daerah baru. Pembentukan daerah bertujuan untuk mengefektifkan dan mengoptimalkan pelayanan kepada masyarakat, dimana masyarakat seharusnya ditempatkan sebagai subyek bukan sekedar obyek. Sebagai subyek pelaksanaan otonomi daerah tentu saja yang harus diutamakan adalah aspirasi dari masyarakat, karena inti dari otonomi daerah adalah untuk kesejahteraan masyarakat.  Pada saat masyarakat melakukan penolakan untuk bergabung dengan daerah pemekaran, maka perlu dipertanyakan aspirasi masyarakat yang mana yang telah menjadi dasar DPRD  dalam melakukan persetujuan pembentukan wilayah tersebut, atau paling tidak ada aspirasi masyarakat yang tidak terakomodasi. Banyak faktor yang menyebabkan keengganan masyarakat untuk bergabung dalam daerah pemekaran, faktor ekonomi merupakan faktor yang cukup dominan. Ketika aspirasi masyarakat tidak terakomodir maka bukan masyarakat yang mempunyai kedaulatan sebagai wujud demokrasi.
Dalam UU No. 32 Tahun 2004, telah diatur sedemikian rupa agar aspirasi masyarakat setempat merupakan sumber inspirasi yang utama bagi pemerintahan daerah otonom dalam menjalankan kewenangannya. Penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 telah menempatkan aspirasi masyarakat sebagai hal penting dalam pembentukan daerah, dimana aturan tersebut berbunyi : “Persetujuan DPRD dalam ketentuan di atas diwujudkan dalam bentuk keputusan DPRD yang diproses berdasarkan pernyataan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat”. Dalam tataran peraturan perundang-undangan, aspirasi masyarakat telah diperhatikan namun dalam tataran implementasi belum maksimal. Hal ini dapat dilihat ketika ada beberapa masyarakat di daerah otonom baru menolak untuk dimekarkan dri daerah induknya, sehingga terbersit bahwa ada aspirasi masyarakat yang tidak terakomodir dalam pengambilan kebijakan. Dan terlihat juga ada kemungkinan kepentingan-kepentingan yang bermain dalam pengambilan kebijakan itu sehingga aspirasi masyarakat terabaika. Penguatan terhadap kinerja DPRD dalam menyerap aspirasi masyarakat sangat dibutuhkan dalam rangka pembentukan daerah. Hal ini supaya pembentukan daerah baru sungguh sesuai dengan kehendak masyarakat dan bukan hanya sebatas merupakan kepentingan politik sekelompok elit yang menginginkan kekuasaan.
Pembentukan daerah otonom baru yang pada saat ini belum diatur dengan kriteria yang rigid menimbulkan banyaknya kepentingan yang bermain dalam pembentukan daerah otonom baru, tidak semata-mata dan diutamakan untuk kesejahteraan dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Pembentukan daerah otonom baru selama ini banyak didasari kepentingan sekelompok elite penguasa yang menginginkan kekuasaan. Dengan dasar PP Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah memungkinkan daerah untuk membentuk struktur organisasi baru sesuai kebutuhan daerah tersebut, dengan aturan ini maka terbuka kursi-kursi kosong jabatan baru. Hal ini menjadi sebuah sasaran empuk bagi para elite kekuasaan yang menginginkan jabatan baru yang lebih tinggi.
Dengan terbentuknya daerah otonom baru, maka dibutuhkan banyaknya sarana dan prasarana baru yang diperlukan untuk mendukung kinerja daerah otonom baru tersebut. Hal ini tentu saja merupakan peluang bagi pihak swasta untuk mendapat keuntungan dari proyek-proyek pemerintah tersebut. Dana dan peluang yang besar ini seringkali menimbulkan korupsi-korupsi dalam pemerintahan daerah otonom baru. Pihak swasta berlomba-lomba untuk mendapatkan tender yang besar tersebut bahkan menghalalkan segala cara, dengan memberikan sejumlah uang kepada pejabat atau kong-kalikong untuk menentukan nilai besaran proyek.  Dengan keadaan seperti ini tentu saja kepentingan masyarakat yang menjadi korban, masyarakat tidak dapat menikmati sarana dan prasarana yang maksimal sesuai dengan anggaran yang ada.
Politik uang yang terjadi di DPR guna meloloskan suatu UU pembentukan daerah membuat tidak terjaminnya kemampuan daerah otonom baru dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat. Undang-Undang pembentukan daerah baru merupakan Undang-undang yang kurang mendapat perhatian publik atau tidak disorot oleh media. Kecenderungan politik uang ini menimbulkan begitu mudahnya DPR meloloskan usulan pembentukan daerah baru dengan membuat RUU pembentukan daerah tanpa memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007.  Bahkan ketika hasil studi beberapa lembaga studi dan DPOD (Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah) tidak merekomendasikan untuk membentuk daerah otonom baru.  Sebagai bukti, dari 17 RUU Pembentukan daerah yang diusulkan DPR pada akhir tahun 2007, hanya 3 (tiga) yang layak untuk diloloskan (Kompas, 23 Des 2008). Dengan kendornya pengawasan DPR terhadap pembentukan daerah otonom baru karena adanya politik uang sangat merugikan masyarakat khususnya dalam pelayanan publik, karena daerah otonom baru kurang terjamin kemampuannya dalam melaksanakan kewenangan, hak dan kewajibannya dalam mengurus daerahnya sendiri.




D.    Kesimpulan dan Saran

Sebagai suatu kebijakan publik untuk memecahkan permasalahan pelayanan publik di daerah, kebijakan pembentukan daerah otonom baru belum dapat mencapai dampak atau tujuan yang ingin dicapai oleh kebijakan publik itu sendiri. Hal ini terlihat dari banyaknya permasalahan baru yang timbul akibat pembentukan daerah otonom baru, seperti munculnya “raja-raja kecil”, menyebarnya korupsi sampai di derah, konflik horizontal antar daerah dan lahirnya daerah-daerah yang justru pada kenyataannya tidak mampu mandiri., Sedangkan pelayanan publik yang diharapkan meningkat berjalan ditempat atau justru mengalami kemunduran.
Kebijakan pembentukan daerah otonom baru yang tidak optimal dalam mencapai dampak yang diinginkan disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
1.      Permasalahan tingkat pelayanan publik yang rendah di daerah ditimbulkan oleh banyak faktor, tidak semata-mata mengenai rentang kendali pelayanan publik antara pemerintah dan masyarakat yang cukup jauh.
2.      Adanya persepsi yang berbeda dari pelaksana kebijakan dari tujuan kebijakan pembentukan daerah otonom baru. Pembuat kebijakan melihat kebijakan ini untuk memperpendek rentang kendali pelayanan publik untuk meningkatkan pelayanan pada masyarakat, tetapi pelaksana kebijakan melihat kebijakan ini sebagai kesempatan untuk menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya.
3.      Ketidakjelasan aturan pelaksanaan dalam kebijakan pembentukan daerah otonom baru, sehingga membuka kemungkinan pelaksana kebijakan untuk melakukan interpretasi yang kemungkinan berbeda dengan tujuan kebijakan tersebut.
4.      Tingginya faktor kepentingan dari para pihak yang terlibat dalam kebijakan pembentukan daerah otonom baru, sehingga seringkali menimbulkan konflik kepentingan yang justru mengabaikan kepentingan demokrasi dan kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan di atas, penulis dapat memberikan saran sebagai berikut :
1.      Guna meningkatkan daya serap DPRD terhadap aspirasi masyarakat maka penguatan lembaga dan kinerja DPRD perlu ditingkatkan. Pembentukan sarana-sarana pendukung perlu di adakan misalnya untuk pembentukan semacam rumah aspirasi. Dan apabila pada titik tertentu kinerja DPRD dalam menyerap aspirasi masyarakat khususnya dalam pembentukan daerah otonom baru, bisa diserahkan pada suatu lembaga indipenden untuk melakukan penelitian atau survey kepada masyarakat terkait aspirasinya dalam pembentukan suatu daerah otonom baru. Selain itu diperlukan pemberian kesempatan atau peningkatan akses kepada masyarakat untuk mengemukakan pendapatnya mengenai pembentukan atau pemekaran suatu daerah. Hal ini sebagai upaya pendidikan dan pembelajaran politik kepada masyarakat sehingga diharapkan akan tumbuh partisipasi aktif masyarakat dan tumbuh sense of belonging terhadap proses pembangunan daerah.
2.      Diperlukan pengaturan yang lebih jelas mengenai kriteria pembentukan daerah otonom baru. Pengaturan ini bukan untuk menghambat pembentukan daerah otonom baru, melainkan untuk lebih memberikan jaminan bahwa daerah yang akan dibentuk tersebut benar-benar berkemampuan untuk menjadi otonom, sehingga dapat mendorong kemajuan daerah dan peningkatan pelayanan publik kepada masyarakat. Pengaturan mengenai kriteria pembentukan daerah otonom baru tersebut harus memperhatikan syarat-syarat yang mampu menjamin kemampuan daerah dalam melaksanakan pemerintahan yang demokratis, kemampuan ekonomi daerah serta persyaratan jumlah penduduk yang diperlukan.  Pengaturan tersebut diharapkan mampu membentuk daerah otonom baru yang mampu mengembangkan pemerintahan yang efektif dan efisien, serta mendorong perkembangan suatu daerah secara wajar baik secara sosiologis, administratif dan berkelanjutan. Pengaturan yang jelas juga dapat memperkecil kemungkinan pembentukan daerah otonom baru yang disetir oleh kepentingan kebutuhan kekuasan dari sekelompok elit penguasa.  Pembentukan daerah otonom baru yang dilakukan secara instan memiliki kecenderungan menimbulkan kerugian yang besar yang dirasakan langsung oleh masyarakat.
3.      Peningkatan fungsi kontrol masyarakat terhadap pengesahan RUU pembentukan daerah otonom baru harus lebih ditingkatkan. Peran media menjadi sangat penting di sini, untuk menginformasikan kepada masyarakat mengenai pengesahan RUU pembentukan daerah otonom baru. Dengan terangkatnya berita-berita tersebut oleh media, maka masyarakat dapat mengakses perkembangan dinamika pembentukan daerah otonom baru. Diharapkan dengan meningkatnya fungsi kontrol masyarakat maka DPR lebih selektif dalam memproses pembentukan daerah otonom baru.
4.      Pendidikan politik bagi masyarakat sangat diperlukan. Hal ini untuk mengurangi setimen kesukuan, etnis, agama, sejarah masa lalu untuk membentuk daerah otonom baru. Selain itu perlu lebih banyak dilakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai hal ihwal pembentukan daerah otonom baru dengan segala implikasinya. Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan substansi dari pelaksaanaan otonomi dan pembentukan daerah baru dapat mengerem keinginan masyarakat untuk membentuk dari otonom baru.
5.      Perlunya Standard Pelayanan Minimal (SPM), analisa biaya efektifitas dengan terciptanya daerah otonom baru, atau kondisi riil kemakmuran yang dapat diukur dengan berbagai macam indikator. Dengan digunakanya kriteria tersebut dalam evaluasi terhadap pengajuan usulan pembentukan daerah otonom baru maupun dalam evaluasi pelaksanaan daerah otonom, diharapkan dapat meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat.
Dengan berbagai perbaikan tersebut diharapkan pembentukan daerah otonom dapat sungguh-sungguh menjadi wujud demokrasi di Indonesia serta peningkatan pelayanan publik menjadi nyata bagi masyarakat.
























DAFTAR PUSTAKA

Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Gadjah Mada University Press, Jogjakarta, 2006.

Eddi Wibowo, T. Saiful Bahri, Hessel Nogi S. Tangkisilan, Kebijakan Publik dan Budaya, Yayasan Pembaharu Administrasi Publik Indonesia, Yogyakarta, 2004.

Hessel Nogi S. Tangkisilan, Manjemen Publik, PT. Grasindo, Jakarta, 2005.

H. Syaukani  HR,  Affan Gafar, M. Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2002.























[1] Hessel Nogi S. Tangkisilan, Manjemen Publik, PT. Grasindo, Jakarta, 2005,hal.205.
[2] Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Gadjah Mada University Press, Jogjakarta, 2006, hal.21.

[3] Opcit,hal 4.
[4]  H. Syaukani  HR,  Affan Gafar, M. Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar, Jogja, 2002. Hal 212.
[5] Eddi Wibowo, T. Saiful Bahri, Hessel Nogi S. Tangkisilan, Kebijakan Publik dan Budaya, Yayasan Pembaharu Administrasi Publik Indonesia, Yogyakarta, 2004, hal.31.