Rabu, 30 November 2011

Zonasi Taman Nasional

Zonasi Taman Nasional dan Peruntukannya

Dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya diatur bahwa pengelolaan taman nasional menggunakan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan dan zona lain yang disesuaikan dengan keperluan. Zona taman nasional adalah wilayah di dalam kawasan taman nasional yang dibedakan menurut fungsi dan kondisi ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Dengan definisi masing-masing sebagai berikut :
1.      Zona inti adalah bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota ataupun fisiknya masih asli dan tidak  atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas.
2.      Zona rimba, untuk wilayah perairan laut disebut zona perlindungan bahari adalah bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan.
3.      Zona pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya, yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya.
4.      Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam.
5.      Zona rehabilitasi adalah bagian dari taman nasional yang karena mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan.
6.      Zona religi, budaya dan sejarah adalah bagian dari taman nasionai yang didalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya dan atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah.
7.      Zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik.
Masing- masing zona mempunyai peruntukannya sendiri sesuai dengan fungsi, kondisi ekologi, sosial dan budaya masyarakat, yaitu :
1.      Zona inti untuk perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna khas beserta habitatnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan, sumber plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa liar, untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya.
2.      Zona rimba untuk kegiatan pengawetan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan menunjang budidaya serta mendukung zona inti.
3.       Zona pemanfaatan untuk pengembangan pariwisata alam dan rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan, penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfatan, kegiatan penunjang budidaya.
4.      Zona tradisional untuk pemanfaatan potensi tertentu taman nasional oleh masyarakat setempat secara lestari melalui pengaturan pemanfaatan dalam rangka memenuhikebutuhan hidupnya.
5.      Zona rehabilitasi untuk mengembalikan ekosistem kawasan yang rusak menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiahnya.
6.      Zona religi, budaya dan sejarah untuk memperlihatkan dan melindungi nilai-nilai hasiI karya, budaya, sejarah, arkeologi maupun keagamaan, sebagai wahana penelitian; pendidikan dan wisata alam sejarah, arkeologi dan religius.
7.      Zona khusus untuk kepentingan aktivitas kelompok masyarakat yang tinggal diwilayah tersebut sebelum ditunjuk dan ditetapkan sebagai taman nasional dan sarana penunjang kehidupannya, serta kepentingan yang tidak dapat dihindari berupa sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik.
Sesuai dengan peruntukan masing-masing zona maka kegiatan yang diizinkan dilakukan dalam zona harus disesuaikan denan peruntukan zona tersebut, adapun kegiatan dalam zona diatur sebagai berikut :
1. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona inti meliputi:
a.         Perlindungan dan pengamanan;
b.        Inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam hayati dengan ekosistemnya;
c.         Penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan atau penunjang budidaya;
d.        Dapat dibangun sarana dan prasarana tidak permamen dan terbatas untuk kegiatan penelitian dan pengelolaan.
2. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona rimba meliputi:
a.       Perlindungan dan pengamanan;
b.      lnventarisasi dan monitoring sumberdaya alam, hayati dengan ekosistemnya;
c.       Pengembangan penelitian, pendidikan, wisata alam terbatas, pemanfaatan jasa lingkungan dan kegiatan penunjang budidaya;
d.      Pembinaan habitat dan populasi dalam rangka meningkatkan keberadaan populasi hidupan liar;
e.       Pembangunan sarana dan prasarana sepanjang untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan wisata alam terbatas.
3. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona pemanfaatan meliputi:
a.       Perlindungan dan pengamanan;
b.      Inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam hayati dengan ekosistemnya;
c.       Penelitian dan pengembangan pendidikan, dan penunjang budidaya;
d.      Pengembangan potensi dan daya tarik wisata alam;
e.       Pembinaan habitat dan populasi;
f.       Pengusahaan pariwisata alam dan pemanfatan kondisi/jasa lingkungan;
g.      Pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan, penelitian, pendidikan, wisata alam danpemanfatan kondisi/jasa  Iingkungan.
4.   Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona tradisional meliputi:
a.     Perlindungan dan pengamanan;
b.    Inventarisasi dan monitoring potensi jenis yang dimanfaatkan oleh masyarakat;
c.     Pembinaan habitat dan populasi;
d.    Penelitian dan pengembangan;
e.     Pemanfaatan potensi dan kondisi sumberdaya alam sesuai dengan kesepakatan dan ketentuan yang berlaku.
5.  Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona religi, budaya dan sejarah meliputi:
a.     Perlindungan dan pengamanan;
b.    Pemanfaatan pariwisata alam, penelitian, pendidikan dan religi;
c.     Penyelenggaraan upacara adat;
d.    Pemeliharaan situs budaya dan sejarah, serta keberlangsungan upacara-upacara ritual keagamaan/adat yang ada.
6.  Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona khusus meliputi:
a.     Perlindungan dan pengamanan;
b.    Pemanfaatan untuk menunjang kehidupan masyarakat dan;
c.     Rehabilitasi;
d.    Monitoring populasi dan aktivitas masyarakat serta daya dukung wilayah.

TJSL Perusahaan dan Hukum Lingkungan

 Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (TJSL) dan Hukum Lingkungan

A.    Regulasi Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) Merupakan Wujud Peraturan Perundang-Undangan Berbasis Lingkungan Hidup

Instrumen hukum nasional yang secara khusus mengatur lingkungan hidup adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup, dalam undang-undang ini diatur menyeluruh dari segala aspek perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Ruang lingkup yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum.  Dalam pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilakukan kegiatan :
a.       Pencegahan;
b.      Penanggulangan;dan
c.       Pemulihan.
Dalam kegiatan pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup terdapat berbagai instrumen, yaitu :
a.       KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis);
b.      Tata ruang;
c.       Baku mutu lingkungan hidup;
d.      Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
e.       Amdal;
f.       UKL-UPL;
g.      Perizinan;
h.      Instrumen ekonomi lingkungan hidup;
i.        Peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup;
j.        Anggaran berbasis lingkungan hidup;
k.      Analisis resiko lingkungan hidup;
l.        Audit lingkungan hidup;dan
m.    Instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.
Dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, disebutkan bahwa,” Setiap penyusunan peraturan perundang-undangan pada tingkat nasional dan daerah wajib memperhatikan fungsi lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.” Dalam hal ini, klausul mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroaan Terbatas dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, merupakan perwujudan dari semangat undang-undang yang berbasis lingkungan. Seperti telah diketahui Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) ini diatur secara eksplisit dalam Pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas dan Pasal 15 huruf b Undang-Undang Penanaman Modal.
Didalam Pasal 74 Undang-undang  Perseroan Terbatas yang menyebutkan bahwa :
(1)     Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
(2)      Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
(3)     Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)      Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah.
Dalam pasal 15 UU No. 25 Tahun 2007, mengatur sebagai berikut :
Setiap penanam modal berkewajiban:
a. menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik;
b. melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;
c. membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal;
d. menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal; dan
e. mematuhi semua ketentuan peraturan perundangundangan.
Dari ketentuan kedua perundang-undangan tersebut jelas diatur bahwa sebuah perusahaan mempunyai tanggung jawab hukum terhadap stakeholder pendukungnya, yang dalam konteks Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) meliputi masyarakat sekitar kegiatan usaha dan lingkungan hidup. Jadi sebuah perusahaan mempunyai tujuan tidak hanya semata-mata untuk mencari keuntungan, namun lebih dari itu perusahaan mempunyai tanggung jawab dalam pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam definisi Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) yang diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 40 Tahun 2007, disebutkan pengertian Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.

B.     Coorporate Social Responsibility (CSR) sebagai Tanggung Jawab Pengusaha Terhadap Perlindungan Lingkungan Hidup

CSR sendiri masih mempunyai pengertian yang berbeda-beda. Secara harfiah CSR diartikan sebagai tanggung jawab sosial perusahaan. Sedangkan menurut World Bank, CSR adalah komitmen dari bisnis untuk berkontribusi bagi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas kehidupan sehingga dampak baik bagi bisnis sekaligus baik bagi kehidupan sosial. Sedangkan menurut World Business Council for Sustainable Developmet, CSR adalah merupakan komitmen berkelanjutan oleh dunia usaha untuk bertindak etis dan memberikan konstribusi kepada pengembangan ekonomi dari komunitas setempat atauapun masyarakat luas, bersamaan dengan peningkatan taraf hidup pekerjanya beserta seluruh keluarganya. Para pengamat bisnis juga ada yang mengartikan CSR sebagai bentuk komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, masyarakat lokal dan masyarakat secara lebih luas. CSR berhubungan erat dengan "pembangunan berkelanjutan”, di mana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya tidak hanya untuk faktor keuangan, misalnya keuntungan atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang. CSR mempunyai banyak manfaat, baik bagi perusahaan maupun bagi masyarakat sekitar.
Bagi perusahaan CSR bermanfaat sebagai : (Hendrik Budi Untung, 2008 : 47)
1.        Mendongkrat reputasi citra merk.
2.        Mendapatkan lisensi untuk beroperasi secara sosial.
3.        Mereduksi resiko bisnis perusahaan.
4.        Melebarkan akses sumber daya bagi operasional usaha.
5.        Membuka peluang pasar yang lebih luas.
6.        Mereduksi biaya, misalnya terkait dampak pembuangan limbah.
7.        Memperbaiki hubunga dengan stakeholder.
8.        Memperbaiki hubungan dengan regulator.
9.        Meningkatkan semangat dan produktivitas.
10.    Peluang mendapatkan penghargaan.
Sedangkan bagi masyarakat CSR bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memberdayakan masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan.

Dalam CSR ada pengelompokan perusahaan berdasarkan ketaatan terhadap prinsip CSR yaitu: (Hendrik Budi Untung, 2008 : 54)
1.        Kelompok hitam, yaitu perusahaan yang tidak melakukan praktik CSR sama sekali,  pengusaha yang menjalankan usaha untuk kepentingannya sendiri.
2.        Kelompok Merah, yaitu perusahaan yang sudah melakukan CSR tetapi hanya memandangnya sebagai komponen biaya yang mengurangi keuntungan perusahaan.
3.        Kelompok Biru, yaitu perusahaan yang menilai CSR memberi dampak positif terhadap usahanya karena merupakan investasi bukan biaya.
4.        Kelompok Hijau, yaitu perusahaan yang menempatkan CSR sebagai jantung bisnisnya, CSR bukan keharusan tetapi kebutuhan.

Dalam mengimplementasikan CSR ada beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu :
1.        Menyangkut human capital atau pemberdayaan manusia.
2.        Menyangkut enviromental atau lingkungan.
3.        Good Cooporate Governance.
4.        Social Cohesion artinya dalam melaksanakan CSR jangan menimbulkan kecemburuan sosial.
5.        Economic strength memberdayakan lingkungan menuju kemandirian di bidang ekonomi.
6.        Komitmen pemimpin perusahaan.
7.        Ukuran kematangan perusahaan.
8.        Regulasi aturan perpajakan.
Kata tanggung jawab dalam terjemahan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, mengandung implikasi bahwa organisasi-organisasi bisnis memiliki beberapa jenis kewajiban terhadap masyarakat di mana mereka harus ikut aktif menangani masalah-masalah sosial dan memberikan kontribusi lebih dari sekadar barang-barang dan jasa ekonomis. Singkatnya, konsep CSR mengandung makna bahwa perusahaan atau pelaku bisnis pada umumnya memiliki tanggung jawab yang menekankan aspek etis dan sosial dari perilaku korporasi seperti etika bisnis, kepatuhan pada hukum, pencegahan penyalahgunaan kekuasaan dan pencaplokan hak milik masyarakat, praktik tenaga kerja yang manusiawi, hak asasi manusia, keamanan dan kesehatan, perlindungan konsumen, sumbangan sosial, standar-standar pelimpahan kerja dan barang, dan operasi antarnegara.
Coorporate Social Responsibility (CSR) menurut Howard Bowen mengacu pada kewajiban pelaku bisnis untuk membuat dan melaksanakan kebijakan, keputusan, dan pelbagai tindakan-tindakan yang harus mengikuti tujuan dan nilai-nilai dalam suatu masyarakat. Tujuan dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat inilah salah satunya adalah nilai-nilai terhadap pemeliharaan lingkungan hidup.
Konsep Coorporate Social Responsibility (CSR) mempunyai arti sebagai berikut:
1.      Perusahaan memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat melampaui kepentingan  produksi barang dan jasa yang hanya berorientasi pada keuntungan.
2.      Sebuah korporasi memiliki konstituen yang jauh lebih luas daripada hanya sekadar para stake holder-nya semata.
3.      Korporasi berelasi dengan masyarakat melalui pelbagai aspek dan tidak melulu melalui pasar semata.
4.      Bisnis mempunyai tugas melayani nilai-nilai kemanusiaan yang lebih luas cakupannya dan bukan sekadar nilai-nilai ekonomis tradisional yang mendominasi ranah pasar.
.
C.    Kewajiban Hukum Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagai Sarana Efektif Perlindungan Lingkungan Hidup

Pengaturan CSR di Indonesia sebagai kewajiban hukum yang berbeda dalam praktek internasional sebagai sebuah kesukarelaan. Hal ini karena hukum adalah sarana yang paling efektif untuk mengikat masyarakat pada ketentuan-ketentuan yang diaturnya, karena hukum merupakan bentuk norma yang mempunyai kekhususan yaitu mempunyai sanksi pada pelanggarnya. Dengan adanya sanksi, maka hukum mempunyai daya paksa pada masyarakat untuk mematuhinya.
 Kondisi Indonesia masih menghendaki adanya CSR sebagai suatu kewajiban hukum. Kesadaran akan adanya CSR masih rendah, kondisinya yang terjadi adalah belum adanya kesadaran moral yang cukup dan bahkan seringkali terjadi  suatu yang diatur saja masih ditabrak, apalagi kalau tidak diatur. Karena ketaatan orang terhadap hukum masih sangat rendah.  CSR lahir dari desakan masyarakat atas perilaku perusahaan yang mengabaikan tanggung jawab sosial, seperti : perusakan lingkungan, eksploitasi sumber daya alam, “ngemplang” pajak, dan menindas buruh. Lalu, kebanyakan perusahaan juga cenderung membuat jarak dengan masyarakat sekitar.
Di Indonesia CSR dikenal sebagai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL), klausul TJSL pertama kali dikenal dengan dimasukan ke dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.  Didalam Pasal 74 Undang-undang  Perseroan Terbatas yang menyebutkan bahwa :
(1)   Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
(2)   Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
(3)   Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah.
Dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 40 Tahun 2007, disebutkan pengertian Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.
Selain diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, ketentuan mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam pasal 15 UU No. 25 Tahun 2007, mengatur sebagai berikut :
Setiap penanam modal berkewajiban:
a. menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik;
b. melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;
c. membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal;
d. menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal; dan
e. mematuhi semua ketentuan peraturan perundangundangan.
Khususnya dalam huruf b diatur menyangkut kewajiban penanam modal untuk melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Jika tidak, maka dapat dikenai sanksi, sebagaimana diatur dalan Pasal 34, yang mengatur sebagai berikut :
(1)  Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 dapat dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha;
c. pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau
d. pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh instansi atau lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(3) Selain dikenai sanksi administratif, badan usaha atau usaha perseorangan dapat dikenai sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam ketentuan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan yang diatur dalam regulasi di Indonesia merupakan bagian dari CSR, karena CSR sendiri mempunyai tiga pilar yaitu ekonomo-sosial masyarakat-dan lingkungan.
TJSL yang diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas dapat dideskripsikan sebagai berikut : (M. Yahya Harahap, 2009 : 58)
1.        Tujuan TJSL untk mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi perseroan itu sendiri, komunitas setempat dan masyarakat pada umumnya.
2.        TJSL bermaksud untuk mendukung terjalinnya hubungan perseroan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat.
3.        Sehubungan dengan hal itu, perlu ditentukan bahwa PT yang kegiatan usahanya dibidang atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan TJSL.
4.        Untuk melaksanakan TJSL, harus dianggarkan dengan diperhitungkan sebagai biaya PT dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
5.        Selanjutnya kegiatan TJSL dimuat dalam Laporan Tahunan PT.

Dalam ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas TJSL harus dianggarkan dan memperhitungkan TJSL sebagai biaya perseroan, hal ini bertujuan supaya TJSL bukan hanya hiasan. Namun  ketika pengaturan tentang penganggaran TJSL dan diperhitungkan sebagai biaya perusahan harus dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran maka dalam hal ini harus ada itikad baik dari perusahaan.
Dalam ketentuan UU Perseroan Terbatas Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan merupakan kewajiban perseroan sebagai legal entity yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran, maka dalam hal ini harus ada itikad baik dari perusahaan. Itikad baik dalam arti subektif merupakan suatu sikap batin atau suatu keadaan jiwa, sehingga itikad baik dimaknai sebagai keinginan dalam hati sanubari pihak yang menguasai atau memegang barang pada waktu ia mulai menguasai barang tersebut. Sedangkan pada arti objektif, itikad baik diartikan sebagai kepatutan.
Dengan diberlakukannya Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) menjadi kewajiban hukum bagi perusahaan, sehingga dapat lebih mengikat perusahaan untuk mematuhi segala tanggung jawabnya terhadap lingkungan dan masyarakat di sekitar daerah usahanya. Dengan adanya sanksi baik administrasi dan pidana, sebagai karakteristik sebuah norma hukum, dapat lebih meningkatkan kepatuhan perusahaan terhadap ketentuan yang mengatur tentang kepedulian terhadap lingkungan. Dengan demikian perlindungan terhadap kelestarian lingkungan lebih terjamin. Diharapkan regulasi ini dalam jangka panjang dapat merubah perilaku perusahaan untuk melindungi dan peduli terhadap lingkungan.

D.    Regulasi Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagai Sarana Rekayasa Sosial yang Efektif.

Perubahan-perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat disebabkan oleh sebab intern yaitu sebab yang berasal dari masyarakat itu sendiri dan sebab ekstern yaitu sebab ekstern yaitu sebab yang berasal dari luar masyarakat tersebut. Suatu masyarakat lebih mudah berubah bila sering mengadakan kontak dengan masyarakat lain, mempunyai sistem pendidikan yang maju, sistem lapisan sosial yang terbuka, penduduk yang heterogen serta ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang kehidupan tertentu. (Soerjono Soekanto, 2001 : 112)
Hukum mempunyai beberapa fungsi dalam mewarnai perubahan sosial, yaitu: (Sabian Utsman, 2009 : 72)
1.    Hukum sebagai pemberi bentuk (pedoman perilaku dan pengendali sosial, serta sebagai landasan proses integrasi);
2.    Hukum sebagai penentu prosedur untuk mencapai tujuan masyarakat;
3.    Hukum sebagai alat rekayasa sosial.
Hukum sebagai alat atau sarana rekayasa sosial bisa diartikan sebagai seseorang atau beberapa orang sebagai bagian dari anggota masyarakat yang diberi amanah untuk memimpin lembaga kemasyarakatan sehingga mempunyai kesempatan untuk mengolah sistem sosial yang bersangkutan secara teratur dan terencana dan perubahan tersebut di bawah pengawasan agen of change. Hukum menjadi efektif sebagai alat perubah masyarakat apabila hukum tersebut memenuhi syarat fisiologis atau ideologis, syarat yuridis dan syarat sosiologis. Hukum mempengaruhi tingkah laku manusia atau masyarakat setelah hukum tersebut diketahui oleh masyarakat serta mengalamai proses pelembagaan (institutionalized) dalam diri warga masyarakat atau bahkan dalam tatanan jiwa masyarakat (internalized).



     Namun demikian ada faktor-faktor yang mempengaruhi penentangan terhadap kaidah nilai-nilai baru, yaitu : (Soerjono Soekanto, 2001 : 113)
1.      Masyarakat, sebagian besar masyarakat tidak mengerti akan kegunaan unsur-unsur baru tersebut.
2.      Perubahan itu sendiri, apabila perubahan tersebut bertentangan dengan kaidah dan nilai yang ada dan berlaku.
3.      Para masyarakat yang kepentingannya tertanam dengan kuatnya cukup berkuasa untuk menolak suatu proses pembaharuan.
4.      Resiko yang dihadapi sebagai akibat dari perubahan ternyata lebih berat daripada mempertahankan ketentraman sosial yang ada sebelum terjadi perubahan.
5.      Masyarakat tidak mengakui wewenang dan kewibawaan para pelopor perubahan.

Hukum sebagai sarana social engineering berarti bahwa hukum digunakan secara sadar untuk mencapai tertib masyarakat sebagaimana dicita-citakan.  Hukum tidak lagi dilihat sebagai tatanan untuk menjaga status quo, tetapi merupakan pengaturan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu secara terencana. Menyikapi kondisi yang ada tersebut, bahwa hukum sebagai produk kebijakan politik tidak selamanya merupakan conditio sine qua non  bagi tujuan yang hendak dicapai. Hal ini menunjukkan hukum mempunyai batas-batas kemampuan tertentu untuk mengakomodasi nilai-nilai yang tumbuh dan hidup dalam komunitas masyarakat, oleh karena itu Roscoe Pound menyatakan bahwa tugas hukum yang utama dalah ”social engineering”. Dalam doktrin ini dikatakan bahwa hukum harus dikembangkan sesuai dengan perubahan-perubahan nilai sosial. Dengan demikian hukum bagi Roscoe Pound merupakan alat untuk membangun masyarakat (law is a tool of social engineering). Sehingga hukum bukan saja berdasarkan pada akal, tetapi juga pengalaman. Akal diuji oleh pengalaman dan pengalaman yang dikembangkan oleh akal.   
Konteks tanggung jawab sosial (TJSL) dalam hal ini ada kewajiban bertanggung jawab atas perintah undang-undang, dan memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan apa pun yang telah ditimbulkan.  Tanggung jawab sosial berada pada ranah moral, sehingga posisinya tidak sama dengan hukum. Moral dalam tanggung ajwab sosial lebih mengarah pada tindakan lahiriah yang didasarkan sepenuhnya dari sikap batiniah, sikap inilah yang dikenal dengan “moralitas” yaitu sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih. Sedangkan tanggung jawab hukum lebih menekankan pada ksesuaian sikap lahiriah dengan aturan, meskipun tindakan tersbeut secara obyektif tidak salah, barangkali baik dan sesuai dengan pandanan moral, hukum, dan nilai-nilai budaya masyarakat. Namun demikian kesesuaian saja tidak dapat dijadikan dasar untuk menarik suatu kesimpulan karena tidak tahu motivasi atau maksud yang mendasarinya.
Bila dikaitkan dengan teori tanggung jawab sosial dengan aktivitas perusahaan, maka dapat dikatakan bahwa tanggung jawab sosial lebih menekankan pada kepedulian perusahaan terhadap kepentingan stakeholders dalam arti luas dari pada kepedulian perusahaan terhadap kepentingan perusahaan belaka. Dengan demikian konsep tanggung jawab sosial lebih menekankan pada tanggung jawab perusahaan atas tindakan dan kegiatan usahanya yang berdampak pada orang-orang tertentu, masyarakat dan lingkungan di mana perusahaan- perusahaan melakukan aktivitas usahanya sedemikian rupa, sehingga tidak berdampak negatif pada pihak-pihak tertentu dalam masyarakat. Sedangkan secara positif hal ini mengandung makna bahwa perusahaan harus menjalankan kegiatannya sedemikian rupa, sehingga dapat mewujudkan masyarakat yang lebih baik dan sejahtera.
Fokus utama Pound dengan konsep social engineering adalah interest balancing, dan yang terpenting adalah tujuan akhir dari hukum yang diaplikasikan dan mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih maju. Demikianlah tujuan utama social engineering adalah mengarahkan kehidupan sosial ke arah yang lebih maju. Hukum sebagai social engineering, bermakna sebagai penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan, atau untuk melakukan perubahan yang diinginkan. Dimana proses perubahan sosial tersebut merupakan suatu proses yang terencana dengan tujuan menganjurkan, mengajak, menyuruh atau memaksa anggota-anggota masyarakat agar mengikuti norma-norma hukum atau tata tertib hukum yang ditetapkan sebagai norma-norma baru. Demikian juga pengaturan mengenai TJSL di Indonesia merupakan sebuah proses yang direncanakan untuk memaksa anggota masyarakat (pelaku usaha) untuk mengikuti ketentuan tentang TJSL yang merupakan sebuah norma baru bagi masyarakat pelaku usaha di Indonesia. Pemberlakuan ketentuan TJSL di Indonesia mempunyai tujuan untuk mengarahkan kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik dan maju. Dalam hal ini kemajuan di masyarakat yaitu keadaan masyarakat yang semakin terberdayakan serta keadaan lingkungan yang semakin lestari. Hukum digunakan untuk mencapai tujuan untuk menciptakan masyarakat yang semakin sejahtera dan lingkungan yang semakin lestari. Serta keadaan dimana para pelaku usaha memasukan masyarakat sekitar tempat usahanya dan lingkungan di tempat usahanya sebagai bagian dari yang terintegrasi dalam usahanya, sehingga mempunyai tanggung jawab untuk mensejahterakannya. Tidak melihat masyarakat dan lingkungan sebagai komponen beban dari keuangan perusahaan.
Fokus utama Pound dengan konsep social engineering adalah interest balancing, dan yang terpenting adalah tujuan akhir dari hukum yang diaplikasikan dan mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih maju. Demikianlah tujuan utama social engineering adalah mengarahkan kehidupan sosial ke arah yang lebih maju. Hukum sebagai social engginering, bermakna sebagai penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan, atau untuk melakukan perubahan yang diinginkan. Dimana proses perubahan sosial tersebut merupakan suatu proses yang terencana dengan tujuan menganjurkan, mengajak, menyuruh atau memaksa anggota-anggota masyarakat agar mengikuti norma-norma hukum atau tata tertib hukum yang ditetapkan sebagai norma-norma baru. Keefektivan hukum untuk melakukan perubahan sosial karena hukum merupakan suatu lembaga sosial yang sifatnya by design, yaitu sebuah produk kecendikiaan yang terencana dan sistematis. Karena sifatnya ini maka niscaya mudah disempurnakan setiap kali demi fungsional sebagai instrumen perubahan sosial.
Yang menjadi pokok pikiran Roscoe Pound adalah: (Yesmil Anwar & Adang, 2008 : 143)
1.        Ia lebih menelaah akibat-akibat sosial yang aktual dari adanya lembaga-lembaga hukum dan doktrin-doktrin hukum.
2.        Mengajukan studi sosiologia untuk mempersiapkan perundang-undangan dan menganggap hukum sebagai suatu lembaga sosial yang dapat diperbaiki oleh usaha yang bijaksana.
3.        Untuk menciptakan efektivitas cara dalam membuat peraturan perundang-undangan dan memberi tekanan kepada hukum untuk mencapai tujuan sosial.

Roscoe Pound mengemukanan 6 langkah yang harus dilakukan dalam mewujudkan hukum sebagai sarana perubahan sosial, yaitu : (Bernard L. Tanya; Yoan N. Simanjuntak; Markus Y. Hage, 2010:163)
1.      Mempelajari efek sosial yang nyata dari lembaga-lembaga serta ajaran-ajaran hukum;
2.        Melakukan studi sosiologis dalam rangka mempersiapkan perundang-undangan untuk mempelajari pelaksanaannya dalam masyarakat serta efek yang ditimbulkan, untuk kemudian dijalankan;
3.        Melakukan studi tentang bagaimana peraturan hukum menjadi efektif;
4.        Memperhatikan sejarah, artinya mempelajari efek sosial yang ditimbulkan oleh ajaran-ajaran hukum pada masa yang lalu dan bagaimana cara menimbulkannya;
5.        Pentingnya melakukannya penyelesaian individual berdasarkan nalar, bukan berdasarkan hukum semata;
6.        Mengusahakan secara lebih efektif agar tujuan-tujuan hukum dapat tercapai.

Ubi societas Ibi Ius yang berarti dimana ada masyarakat disitu ada hukum, akan tetapi masyarakat terus berkembang dari masyarakat purbakala yang primitif berkembang sampai pada masyarakat modern yang maju seperti saat ini. Oleh karena itu hukum harus mengiringi masyarakat tersebut mengikuti perkembangan dan dinamika masyarakat. Bahkan dipundak hukum punya misi agar hukum dapat secara aktif memodernisasi masyarakat, sehingga hukum dikenal sebagai alat perekayasa sosial.  Dalam konteks ini hukum merupakan benda mati yang tidak dalam posisi untuk mampu memodernisasi dirinya sendiri. Modernisasi hukum merupakan produk interaksi perkembangan hukum dengan perkembangan sosial. Cepat lambatnya suatu perkembangan atau modernisasi hukum dipengaruhi oleh beberapa stimulus yuridis.
Menurut Friedmann stimulus yuridis tersebut adalah : (Munir Fuady, 2003 : 52)
1.        Emergensi nasional, seperti perlunya segera dilakukan suatu redistribusi natural resources atau standar keadilan yang baru.
2.        Pressure dan aksi yang dilakukan oleh kelompok kecil masyarakat yang menghendaki perubahan hukum.
3.        Ketidakadilan hukum secara teknis atau inskonsistensi hukum yang meminta segera dikoreksi.
4.        Perkembangan science dan teknologi baru yang membutuhkan perubahan hukum sesegera mungkin.

Masyarakat mengalami suatu bentuk perubahan karena masyarakat dicirikan sebagai masyarakat manusia yang selalu berpotensi mengalami konflik antara idea dan kenyataan. (Roberto M. Unger, 2007 :296) Demikian juga regulasi terhadap TJSL akan mengalami dinamika yang sangat dinamis dalam perkembangannya guna menyesuaikan diri terhadap tuntutan kebutuhan hukum. Seperti kita ketahui sebelumnya bahawa prinsip dari TJSL telah diatur dalam banyak undang-undang sektoral seperti halnya pengaturan program kemitraan dengan pengusaha dan program bina lingkungan BUMN yang diatur dalam Peraturan Menteri Negara BUMN No.Per -05/MBU/2007. Pengaturan mengenai program kemitraan dan program bina lingkungan merupakan lex specialis yang berlaku khusus bagi BUMN, namun jika BUMN tersebut bergerak di bidang Sumber Daya Alam maka BUMN tersebut tetap terikat pada ketentuan TJSL yang diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas maupun Undang-Undang Penanaman Modal. Bentuk perubahan yang dinamis tersebut, dimana sebelumnya diatur secara sektoral kemudian diatur secara khusus menjadi sebuah kewajiban hukum yang mengikat merupakan wujud dari hukum yang sifatnya by design. Dinamika tersebut merupakan bentuk penyesuaian hukum terhadap tuntutan perkembangan yang terjadi di masyarakat, keadaan sosial masyarakat dalam hal ini masyarakat pelaku usaha yang tingkat kesadaran kepatuhan untuk melaksanakan prinsip TJSL yang diterapkan secara sukarela, membuat hukum harus mampu menjadi alat untuk merubah perilaku sosial pelaku usaha tersebut dengan menjadikan TJSL sebagai sebuah kewajiban hukum.
Dalam masyarakat yang disebut “beradab” oleh Roscoe Pound, tiap orang harus berpegang pada asumsi sebagai berikut :
1.      Orang lain tidak akan melakukan penyerangan yang sewenang-wenang terhadap dirinya.
2.      Tiap orang bisa menguasai apa yang mereka peroleh dalam tata tertib sosial dan ekonomi yang ada, dan menggunakannya untuk kepentingannya sendiri.
3.      Orang lain akan bertindak dengan itikad baik, sehingga akan :
a.     Memenuhi apa yang diharapkan,
b.    Melakukan usaha sesuai dengan harapan masyarakatnya.
4.      Ada jaminan tiap orang akan mengembalikan secara sepadan apa yang mereka peroleh secara tidak wajar yang merugikan orang lain.
5.      Tiap orang akan bertindak sangat hati-hati, agar tidak menimbulkan kerugian bagi orang-orang lain.
Dalam kaitannya dengan pemberlakuan TJSL sebagai suatu kewajiban hukum dalam regulasi di Indonesia, maka seperti asumsi masyarakat yang “beradab” menurut Rosecoe Pound, keadaan masyarakat setelah pemberlakuan TJSL ini akan membentuk masyarakat pelaku usaha yang mempunyai itikad baik. Itikad baik tersebut diwujudkan untuk memenuhi apa yang diharapkan oleh tujuan regulasi serta melakukan usaha sesuai harapan masyarakat, yaitu dengan memberdayakan masyarakat dan memperhatikan kelestarian lingkungan. Sikap kehati-hatian masyarakat pelaku usaha juga merupakan suatu keadaan yang hendak diciptakan dengan pemberlakuan TJSL sebagai kewajiban hukum bagi pelaku usaha di Indonesia. Keadaan-keadaan ini diasumsikan ada dalam masyarakat ketika keseimbangan kepentingan telah diciptakan dengan menggunakan hukum sebagai sarana untuk melakukan suatu perubahan sosial.
Permasalahan hukum sebagai alat perubahan sosial, berkaitan dengan fungsi hukum di dalam pembangunan, dan juga merupakan hubungan antara perubahan hukum dan perubahan masyarakat. Hubungan timbal balik antara keduanya berkaitan dengan masalah pada bidang mana peranan hukum lebih besar daripada pada bidang yang lain. Dan juga sebaliknya apakah hukum yang ada dipandang sebagai alat yang mendukung perubahan atau justru sebaliknya, menjadi penghambat adanya perubahan. Hubungan antara hukum dan perubahan sosial menjadi sentral wacana hukum modern. Fungsi hukum dalam melayani perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat menjadi salah satu ciri adanya suatu sistem hukum.
Hukum tidak berlaku karena memiliki otoritas untuk mengatur, melainkan karena diterima oleh masyarakat. Dengan demikian kepatuhan hukum merupakan hasil interaksi yang tidak sederhana. Kepatuhan yang muncul sebagai dorongan dari dalam diri manusia menjadi hal sulit diimplementasikan dalam hukum modern,karena hukum modern banyak dilahirkan dari lembaga di luar masyarakat. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan hukum adalah : (Satjipto Rahardjo, 2002 : 39)
1.    Pengetahuan masyarakat mengenai adanya peraturan tersebut.
2.    Kebiasaan yang ada di dalam masyarakat.
3.    Keyakinan masyarakat akan hal-hal yang diatur didalam UU.
Demikian juga dalam konteks kepatuhan masyarakat pelaku usaha terhadap ketentuan TJSL dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut di atas, terutama faktor keyakinan masyarakat pelaku usaha akan nilai-nilai yang diatur dalam ketentuan tersebut. Seperti diketahui bersama bahwa kepatuhan atau ketaatan terhadap suatu ketentuan hukum tidak hanya semata-mata dipengaruhi oleh gatra konigtif yang hanya akan menimbulkan ketaatan yang dangkal berupa penyesuaian perilaku secara formal dan lahiriah. Suatu kepatuhan akan menjadi efektif apabila berdasarkan gatra afektif. Dalam hal ini diharapkan ketaatan terhadap ketentuan TJSL merupakan suatu kepatuhan sebagai sebuah keberpihakan terhadap kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan dan keyakinan akan nilai-nilai yang terkandung dalam TJSL tersebut sebagai suatu kebenaran sehingga sudah selayaknya untuk dipatuhi.
Dalam bekerjanya hukum dalam suatu masyarakat, meliputi 4 (empat) proses utama, yaitu : (Satjipto Rahardjo,2010;126)
1.      Proses adaptasi, meliputi ekonomi, penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2.      Proses penerapan tujuan/pengambilan keputusan yang meliputi sistem politik.
3.      Proses mempertahankan pola masyarakat yang meliputi sosialisasi.
4.      Proses integrasi yang dilakukan oleh hukum.


E.     Hambatan Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan di Indonesia

Berbagai pro-kontra mengenai regulasi TJSL dalam hukum positif di Indonesia memberikan dampak tersendiri bagi pelaksanaan TJSL. Tentu saja kedua ketentuan undang-undang tersebut membuat fobia sejumlah kalangan terutama pelaku usaha lokal. Apalagi munculnya Pasal 74 UU Perseroan Terbatas  yang terdiri dari 4 ayat itu sempat mengundang polemik,  karena diberlakukannya TJSL sebagai suatu kewajiban. Para Pengusaha lokal yang tergabung dalam APKINDO beralasan TJSL sebagai kegiatan di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam perundang-undangan formal, seperti : ketertiban usaha, pajak atas keuntungan dan standar lingkungan hidup, jika diatur sebagai suatu kewajiban selain bertentangan dengan prinsip kerelaan, TJSL juga akan memberi beban baru kepada dunia usaha. Apalagi kalau bukan menggerus keuangan suatu perusahaan. Pikiran-pikiran yang menyatakan kontra terhadap pengaturan TJSL menjadi sebuah kewajiban, disinyalir dapat menghambat iklim investasi baik bagi perseroan yang sudah ada maupun yang akan masuk ke Indonesia.  Dalam Pasal 74 ayat (4) Undang_Undang Perseroan Terbatas berbunyi bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah”. Dan Peraturan Pemerintah yang dimaksud belum diterbitkan.
Masih adanya perbedaan definisi CSR dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dengan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaannya. UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal  menggunakan istilah ‘Tanggung Jawab Sosial Perusahaan’, sedangkan No. 40 Tahun 2007 tentang PT menggunakan istilah ‘Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan’, meski makna yang terkandung pada dasarnya sama. Sepertinya pembuat UU Penanaman Modal menerjemahkan langsung dari istilah ‘corporate social responsibility’. Selain istilah yang berbeda, uraian definisinya pun tidak sama meski dalam penjelasan pasal 74(1) UU Perseroan Terbatas, UU Perseroan Terbatas mengutip definisi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang digunakan dalam UU Penanman Modal sebagai tujuan dari ketentuan tentang TJSL dalam UU Perseroan Terbatas.             
Perbedaan mengenai sanksi juga menimbulkan masalah tersendiri. Dimana dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, sanksi telah diatur dalam pasal 34 yang meliputi sanksi administratif maupun sanksi lainnya yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, sanksi bagi perusahaan yang tidak melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan  tidak diatur secara spesifik melainkan ‘diserahkan’ pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam penjelasan pasal 74 (3) UU Perseroan Terbatas, disebutkan bahwa sanksi yang dikenakan adalah sanksi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sanksi sebagaimana diatur dalam UU Penanaman Modal bagi perusahaan yang tidak melakukan tanggung jawab sosial dapat pula diberlakukan bagi perusahaan – perusahaan yang tidak melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana diatur dalam UU Perseroan Terbatas, sepanjang kriteria perusahaan yang dimaksud adalah sesuai dengan pengaturan dalam UU Penanaman Modal.  Begitu juga dengan sanksi-sanksi yang ada dalam UU terkait lainnya seperti UU Perlindungan Konsumen, UU Lingkungan Hidup, UU Tenaga Kerja, dan sebagainya.
Dalam Pasal 74 ayat (3) Undang-Undang Perseroan Terbatas disebutkan bahwa Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam penjelasan Pasal 74 ayat (3) tersebut diatas diatur bahwa yang dimaksud dengan “dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”adalah dikenai segala bentuk sanksi yang diatur dalam peraturan perundangundangan yang terkait. Dari penjelasan pasal tersebut di atas berarti bahwa regulasi tetntang TJSL beserta sanksinya dikembalikan lagi pada kewenangan undang-undang yang bersifat sektoral yang terkait dengan sumber daya alam misalnya : UU Kehutanan, UU Pertambangan, UU Perikanan dan lain-lain. Yang menjadi permasalahan adalah TJSL dalam uu sektoral tidak diatur secara eksplisit, seperti misalnya dalam UU Kehutanan. Di dalam UU Kehutanan tidak dikenal istilah TJSL.
Subyek yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas berbeda dengan subyek yang diatur dalam Penjelasan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Subyek yang diatur dalam UU Perseroan Terbatas yang diwajibkan melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan dibatasi hanyalah perusahaan yang ‘menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam’. Pengaturan ini membatasi jenis-jenis perusahaan yang harus melakukan TJSL. Tapi jika membaca penjelasan pasal 74 (1) UU Perseroan Terbatas, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam adalah yang usahanya adalah memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam. Sedangkan yang menjalankan kegiatan usahanya berkaitan dengan sumber daya alam adalah yang kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Penjelasan Pasap 74 ayat (1) tersebut dapat diinterpretasikan berlaku bagi seluruh sektor industri tanpa terkecuali karena apabila dicermati lebih teliti, maka sebenarnya seluruh aktifitas manusia di muka bumi ini memiliki dampak terhadap eksistensi sumber daya alam.
Pengimplementasian ketentuan tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas  dapat menimbulkan beberapa masalah. Misalnya tentang ketidakjelasan perusahaan-perusahaan yang wajib melakukan TJSL. Hal ini timbul karena kurang selarasnya pengaturan dalam pasal 74 dengan penjelasan pasal tersebut.  Jika mengacu pada pasal 74 ayat (1) UU Perseroan Terbatas, maka perusahaan seperti bank, perusahaan asuransi, dan lain-lain tidak diwajibkan untuk melakukan TJSL. Namun jika mendasarkan pada penjelasan pasal 74 ayat (1) UU Perseroan Terbatas, maka semua perusahaan sebenarnya bisa dikenakan kewajiban melakukan TJSL. Dalam pelaksanaan TJSL akhirnya terpulang kembali pada komitmen perusahaan masing-masing. Kepatuhan terhadap hukum adalah kewajiban ‘standar’ yang harus dipenuhi. Namun melakukan sesuatu yang beyond the law adalah lebih baik lagi.
Selain itu, permasalahan lain yang ditimbulkan akibat masih beragamnya definisi mengenai Coorporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) adalah kegiatan apa yang dapat dinamakan sebagai CSR/ TJSL? Bagaimana kita bisa menilai bahwa suatu Perusahaan telah melakukan TJSL?  Jika menilik pada konsep asalnya maka sebenarnya perusahaan yang telah memperhatikan kepentingan dan mengusahakan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya melalui pemberian upah dan tunjangan-tunjangan kesehatan dan lain-lain serta yang telah menjaga serta melestarikan lingkungan hidup dalam kegiatan-kegiatan operasional perusahaan sebenarnya telah melakukan CSR. Begitu juga dengan perusahaan-perusahaan yang memperhatikan dan mengutamakan kepentingan konsumen dengan memberikan produk yang terbaik dan aman  telah juga melakukan CSR. Hal-hal tersebut di atas sebenarnya dapat dikategorikan sebagai pelaksanaan CSR dalam arti sempit atau dalam arti pelaksanaan CSR secara ‘minimum’ mengingat kegiatan-kegiatan tersebut adalah berhubungan langsung dengan pelaksanaan bisnisnya. Atau kegiatan yang dilakukan perusahaan-perusahaan yang melakukan CSR dengan ‘good will’ dalam semua aspek kegiatan usahanya, seperti  penyediaan bahan baku, pengolahan, proses distribusi, pemasaran, hubungan dengan tenaga kerja, pengembangan masyarakat dan ramah lingkungan.
Kurang efektifnya implementasi regulasi Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan di Indonesia juga dipengaruhi oleh faktor masyarakat. Seperti kita ketahui bersama bahwa tingkat kesejahteraan penduduk di Indonesia termasuk rendah, sehingga penduduk yang hidup di bawah standar sejahtera lebih banyak daripada penduduk yang tergolong sejahtera. Kesejahteraan penduduk ini sangat berpengaruh terhadap tingkat pendidikan dan tingkat kekritisan dalam menanggapi suatu masalah. Sebagian besar penduduk Indonesia pada saat membeli suatu produk belum memperhatikan apakah produk tersebut merupakan suatu produk ramah lingkungan atau tidak, apakah produsen melakukan pencemaran atau pengrusakan lingkungan atau tidak. Jangankan untuk memperhatikan suatu produk ramah lingkungan, terkadang karena tidak ada pilihan lain karena faktor kesejahteraan tersebut, kesehatan dirinyapun terabaikan. Di Indonesia jumlah konsumen yang mengkritisi produk yang ramah lingkungan masih sangat sedikit. Hal ini menjadi salah satu faktor penghambat keefektifan penerapan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan terhadap kelestarian lingkungan. Yang diharapakan dalam penerapan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan ini adalah mekanisme pasar, pasar yang akan menyeleksi produk yang berada di pasar. Produk yang ramah lingkungan dan produsen yang taat dalam melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan akan menjadi produk yang dipilih di pasar, sedangkan produk dan produsen yang tidak ramah lingkungan tidak dipilih oleh konsumen. Dengan mekanisme seperti ini tentu saja produsen yang memperhatikan kelestarian lingkungan akan memperoleh profit perusahaan yang lebih besar daripada perusahaan yang tidak peduli lingkungan atau justru menjadi pencemar/ perusak lingkungan. Hal ini akan menjadi penekan yang efektif bagi perusahaan untuk memperhatikan lingkungan hidup.
Selain itu pemahaman masyarakat dan pemerintah, dalam hal ini masyarakat pengusaha maupun masyarakat pada umumnya, memandang pengrusakan lingkungan sebagai sebuah peristiwa biasa saja, bukan sebuah kejahatan luar biasa sebagaimana terorisme, korupsi ataupun narkoba. Hal ini menimbulkan tingkat perhatian semua elemen terhadap kelestarian lingkungan tidak maksimal.



























Daftar Pustaka

Bernard L Tanya; Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Jogjakarta, 2010.

Hendrik Budi Untung, Coorporate Social Responsibility, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.


Munir Fuady,  Aliran Hukum Kritis, Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

M. Yahya Harahap, SH., Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

Roberto M. Urger; Teori Hukum Kritis, Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern, Nusa Media, Bandung, 2007.

Sabian Utsman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Makna Dialog antara Hukum dan Masyarakat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009.

Satjipto Rahardjo; Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah; Muhammadyah University Press, Surakarta , 2002.

Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Genta Publishing, Jogjakarta, 2010.

Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.
Yesmil Anwar & Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2008.


[1][1]